Membangun Doktrin Ketahanan Energi RI untuk Era Geopolitik Baru

1 hour ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Dalam beberapa tahun terakhir, isu ketahanan energi dan pengelolaan sumber daya mineral semakin menempati ruang strategis dalam diskursus nasional. Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya energi fosil, energi terbarukan serta mineral kritis menghadapi tantangan geopolitik, ekonomi dan keamanan yang tidak dapat lagi dianggap biasa.

Energi tidak lagi berdiri sebagai komoditas ekonomi semata, melainkan menjadi instrumen kedaulatan negara. Oleh karena itu, gagasan untuk merumuskan sebuah doktrin ketahanan energi yang terstruktur dan menyeluruh menjadi semakin relevan.

Pertanyaannya adalah apakah Indonesia mampu dan perlu mengadopsi sebuah doktrin tersebut. Jawabannya bukan hanya ya, tetapi penting dan mendesak. Ketahanan energi dalam konteks modern bukan sekadar memastikan tersedianya minyak, gas dan listrik bagi masyarakat. Negara negara besar telah menunjukkan bahwa energi adalah alat diplomasi, alat pertahanan, sumber legitimasi politik dan sekaligus pengungkit pertumbuhan ekonomi.

Amerika Serikat menggunakan kekuatan militernya untuk mengamankan jalur pasokan minyak global. Rusia memanfaatkan jaringan pipa gasnya sebagai instrumen negosiasi kepada Eropa. China membangun armada militer dan komersial untuk menjamin suplai energi dan mineral dari Afrika hingga Timur Tengah. Praktik praktik ini menunjukkan bahwa energi telah berkembang menjadi faktor penentu dalam hubungan internasional sekaligus basis pertahanan negara.

Indonesia menghadapi situasi yang berbeda namun tidak kalah rumit. Ketersediaan minyak mentah semakin menurun, ketergantungan impor bahan bakar kian meningkat, distribusi gas belum sepenuhnya efisien dan harga energi sangat rentan terhadap gejolak global. Pada saat yang sama, Indonesia memiliki cadangan nikel, tembaga, bauksit, batubara dan mineral strategis lain yang sangat dibutuhkan oleh industri baterai, kendaraan listrik dan teknologi masa depan.

Kondisi ini membuka peluang besar tetapi juga mengundang risiko geopolitik baru. Di tengah persaingan global yang ketat, negara yang menguasai rantai pasok mineral kritis akan mengendalikan masa depan industri teknologi hijau. Indonesia berada dalam posisi penting tetapi juga rawan.

Melihat kompleksitas tersebut, sebuah doktrin ketahanan energi dapat menjadi kerangka untuk menyatukan kepentingan ekonomi, pertahanan, diplomasi serta pengembangan teknologi. Doktrin ini diperlukan agar energi dan sumber daya mineral tidak sekadar dikelola sebagai komoditas pasar tetapi sebagai unsur strategis yang menentukan kedaulatan negara.

Doktrin ketahanan energi harus menjabarkan bagaimana negara memastikan ketersediaan energi dalam jangka panjang, bagaimana negara melindungi aset aset vital energi, bagaimana negara membangun cadangan strategis dan bagaimana negara menyiapkan respons cepat terhadap ancaman eksternal maupun internal.

Indonesia sebenarnya memiliki fondasi awal. Konstitusi memberikan dasar bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar kemakmuran rakyat.

Ketentuan ini memberikan legitimasi kuat bahwa energi dan sumber daya mineral adalah bagian dari kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia. Undang undang pertahanan mengatur bahwa objek vital nasional merupakan bagian dari sistem pertahanan negara.

Regulasi sektor energi dan mineral telah memberikan kerangka bagi negara untuk memegang kewenangan pengelolaan. Namun kerangka ini belum terhubung dalam satu strategi besar. Ketahanan energi masih diartikan secara sektoral, terutama sebagai urusan pasokan listrik dan bahan bakar. Padahal, di banyak negara, energi adalah aspek pertahanan nasional.

Pertama, doktrin ketahanan energi harus memasukkan pengamanan objek vital energi sebagai komponen pertahanan nasional. Indonesia memiliki kilang minyak, pembangkit listrik, pipa gas, smelter, tambang mineral strategis dan jaringan transmisi yang tersebar di wilayah luas dan sering berada di daerah rawan. Ancaman seperti sabotase, kecelakaan industri, serangan siber, aktivitas kriminal hingga konflik sosial dapat mengganggu pasokan energi nasional.

Pengamanan tidak dapat hanya mengandalkan aparat keamanan sipil atau pengelola infrastruktur. Sebagian negara membentuk satuan khusus pengamanan energi yang terlatih layaknya militer tetapi tetap berada dalam kendali sipil.

Norwegia menggunakan kekuatan angkatan laut dan coast guard untuk mengawasi rig minyak di Laut Utara. Arab Saudi mendirikan pasukan keamanan fasilitas energi yang menjaga aset migas Aramco. Indonesia dapat mengadopsi model yang sesuai dengan karakter geografis dan politik nasional.

Kedua, doktrin ketahanan energi harus menata ulang koordinasi antar lembaga. Selama ini terdapat fragmentasi kewenangan antara Kementerian ESDM, BUMN energi, Kementerian Pertahanan, TNI, Polri, Kejaksaan RI, pemerintah daerah dan lembaga pengawas lainnya. Fragmentasi ini sering menghasilkan kebijakan yang saling tumpang tindih atau kurang efektif.

Doktrin ketahanan energi dapat berfungsi sebagai payung koordinatif yang menjelaskan peran masing masing aktor, menentukan mekanisme operasi gabungan serta menetapkan standar pengamanan terpadu. Dalam kerangka ini, TNI tidak mengambil alih fungsi sipil, melainkan menjalankan tugas operasi militer selain perang untuk mendukung keamanan energi yang menjadi kepentingan nasional.

Ketiga, doktrin ketahanan energi harus mengedepankan aspek intelijen sumber daya alam. Banyak negara telah mengembangkan energy intelligence unit yang bertugas memetakan ancaman, memprediksi tren pasokan dan permintaan global serta memberikan informasi kepada pemerintah untuk mengambil keputusan strategis. Indonesia memiliki lembaga intelijen dan badan geologi yang dapat diperkuat dalam fungsi ini.

Tantangan besar Indonesia bukan hanya menjaga ladang migas atau tambang mineral, tetapi memahami peta kepentingan global yang dapat mempengaruhi kedaulatan energi. Misalnya tekanan negara negara pengguna baterai untuk mendapatkan pasokan nikel murah atau manuver kekuatan besar di Laut Cina Selatan yang dapat mengganggu operasi migas di Natuna.

Keempat, doktrin ketahanan energi harus memperkuat tata kelola dan transparansi. Tidak dapat dipungkiri, sektor energi dan mineral menjadi salah satu sektor dengan risiko tinggi terhadap korupsi dan keberadaan mafia. Aktivitas penambangan ilegal, kebocoran produksi, mafia perizinan dan penyalahgunaan kuota ekspor telah lama menjadi masalah serius.

Doktrin ketahanan energi tidak boleh berhenti pada aspek militer atau keamanan fisik. Keamanan energi adalah juga keamanan ekonomi dan kelembagaan. Reformasi tata kelola, digitalisasi rantai pasok, pengawasan real time, keterbukaan data dan penegakan hukum merupakan bagian penting dari ketahanan energi.

Kelima, doktrin ketahanan energi harus mencakup pengembangan teknologi dan transisi energi. Ketahanan energi tidak bisa dicapai hanya dengan menjaga aset migas dan mineral. Indonesia harus mempersiapkan teknologi penyimpanan energi, energi terbarukan skala besar, jaringan listrik cerdas serta kemampuan hilirisasi mineral yang berkelanjutan.

Namun teknologi ini membutuhkan investasi besar dan dukungan kebijakan jangka panjang. Doktrin ketahanan energi dapat memberikan sinyal kuat kepada pasar bahwa pemerintah memiliki komitmen terhadap stabilitas kebijakan dan arah pembangunan energi. Dengan demikian, investor dan industri akan mendapatkan kepastian jangka panjang.

Keenam, doktrin ketahanan energi dapat menjadi alat diplomasi. Indonesia adalah negara produsen mineral strategis yang sangat dibutuhkan dunia. Jika dikelola dengan baik, posisi ini dapat memperkuat posisi negosiasi Indonesia dalam perjanjian perdagangan, kerja sama teknologi dan kontrak jangka panjang.

Negara yang memiliki ketahanan energi akan memiliki otonomi lebih besar dalam menentukan kebijakan luar negeri. Sebaliknya, negara yang rapuh secara energi rentan terhadap tekanan eksternal. Dalam konteks dinamika global yang semakin kompetitif, diplomasi energi menjadi semakin penting.

Namun penerapan doktrin ketahanan energi tidak lepas dari tantangan. Banyak pihak khawatir bahwa memperluas peran militer dalam sektor energi dapat membuka ruang bagi dominasi militer dalam kebijakan ekonomi. Kekhawatiran ini valid dan harus dijawab dengan mekanisme pengawasan yang kuat dan prinsip supremasi sipil.

Doktrin ketahanan energi harus menempatkan pemerintah sipil sebagai pengendali dan militer sebagai unsur pendukung dalam lingkup tugas yang jelas. Model seperti di Norwegia dan beberapa negara demokratis menunjukkan bahwa kolaborasi sipil militer dalam keamanan energi dapat dilakukan tanpa mengorbankan prinsip demokrasi.

Selain itu, doktrin ketahanan energi akan sulit dijalankan tanpa kepemimpinan politik yang kuat dan kapasitas kelembagaan yang memadai. Ketahanan energi adalah program jangka panjang yang melampaui siklus pemerintahan.

Jika setiap lima tahun terjadi perubahan signifikan dalam kebijakan energi, doktrin ini tidak akan berjalan efektif. Oleh karena itu, doktrin ini perlu dilembagakan dalam bentuk kebijakan nasional yang mengikat dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh aktor negara.

Pada akhirnya, doktrin ketahanan energi bukan hanya wacana teknokratis. Ia adalah upaya untuk menjaga masa depan bangsa. Indonesia sedang memasuki era ketika energi dan mineral menjadi rebutan global.

Siapa yang mampu mengelolanya dengan cerdas, tegas dan berdaulat akan menjadi pemain penting di tingkat dunia. Siapa yang gagal akan terjebak dalam ketergantungan dan kehilangan kedaulatan. Doktrin ketahanan energi adalah upaya untuk memastikan bahwa Indonesia memilih jalan pertama.

Jika dilaksanakan dengan visi jangka panjang, penegakan hukum yang tegas, koordinasi lembaga yang rapi serta pengawasan publik yang kuat, doktrin ini dapat menjadi pilar baru dalam strategi pertahanan nasional. Energi bukan hanya bahan bakar bagi mesin ekonomi tetapi juga bahan bakar bagi kedaulatan negara.

Indonesia memiliki potensi untuk menjadi kekuatan energi regional dan global. Tantangannya adalah apakah kita berani merumuskan strategi besar dan mengeksekusinya dengan konsistensi. Doktrin ketahanan energi memberi arah untuk itu.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |