Meneladani Ibrahim, Mengokohkan Persaudaraan Kebangsaan

3 hours ago 1

Oleh : Nurul Badruttamam, Sekretaris Lembaga Dakwah (LD-PBNU); Sekretaris Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa (PD PAB) MUI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap kali Idul Adha tiba, kita kembali diingatkan pada satu kisah besar yang melampaui zaman. Tentang seorang ayah yang diuji imannya, tentang seorang anak yang menerima takdir dengan lapang dada, dan tentang Tuhan yang menegaskan bahwa kasih sayang dan ketakwaan lebih tinggi nilainya daripada pengorbanan fisik. Inilah kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, kisah yang menjadi akar semangat kurban dalam Islam.

Namun Iduladha bukan sekadar peringatan simbolik. Ia adalah momentum spiritual yang menyimpan pesan sosial, kebangsaan, bahkan politik kebudayaan yang mendalam. Ia mengajarkan kita untuk rela berbagi, berani mengorbankan ego, dan menguatkan rasa persaudaraan semangat yang terasa makin mendesak di tengah tantangan kebangsaan hari ini.

Ibrahim bukan hanya seorang nabi. Ia adalah teladan dalam keteguhan prinsip dan kemurnian niat. Ketika diperintah untuk menyembelih anak yang dicintainya, ia tidak bernegosiasi dengan perasaannya sendiri. Ismail pun, dengan penuh keimanan, bersedia menjadi bagian dari perintah Tuhan yang agung.

Jika dua sosok agung itu mampu berdialog dengan keikhlasan dalam ujian seberat itu, mengapa kita yang hanya berbeda pendapat dalam kehidupan sosial dan politik begitu mudah terpecah belah? Mengapa bangsa ini begitu sering tergelincir dalam polarisasi, bahkan dalam urusan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan musyawarah?

Idul Adha mengingatkan, bahwa kekuatan umat tidak terletak pada kerasnya suara, melainkan kejernihan hati dan keikhlasan niat. Bahwa yang harus kita sembelih hari ini bukan kambing atau sapi saja, tetapi juga egoisme kelompok, arogansi kekuasaan, dan prasangka yang meretakkan ukhuwah.

Tantangan Haji dan Tanggung Jawab Amanah

Pekan-pekan terakhir ini, kita turut prihatin atas beberapa permasalahan yang menimpa jemaah haji Indonesia. Dari urusan gagal berangkat, hingga pengelolaan teknis terkait multi syarikah yang dinilai belum sepenuhnya profesional. Padahal haji adalah ibadah suci yang harus disiapkan dengan niat ibadah pula dari pengelolanya, penyelenggaranya, hingga semua elemen yang terlibat.

Di sinilah semangat Idul Adha menemukan relevansinya. Pengelolaan ibadah haji adalah amanah besar yang tidak boleh dilandasi orientasi profit, kekuasaan, atau sekadar pencitraan. Ia harus menjadi ladang pengabdian. Sebab jemaah yang berangkat bukan sekadar pelancong spiritual, tetapi tamu-tamu Allah yang membawa doa-doa bangsa.

Maka, sangat penting bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan Iduladha ini sebagai titik tolak perbaikan. Bukan hanya menyelesaikan persoalan teknis yang muncul, tetapi memperkuat kembali nilai dasar dalam melayani umat. Kembali pada kejujuran, transparansi, dan keikhlasan. Sebab seperti Ibrahim, penyelenggara haji pun harus siap "mengorbankan" kenyamanan pribadi demi menunaikan amanah suci dari rakyat.

Kurban sebagai Jembatan Sosial

Dalam tradisi Islam Nusantara, kurban bukan hanya ritual ibadah. Ia menjadi ruang kebersamaan. Gotong royong dalam menyiapkan, menyembelih, hingga membagikan daging kurban adalah wujud nyata dari spirit kesalingan yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.

Sayangnya, dalam realitas sosial hari ini, kesenjangan masih tinggi. Distribusi kesejahteraan belum merata. Banyak saudara kita di pelosok negeri yang hanya bisa menyantap daging kurban setahun sekali. Maka, kurban harus dimaknai ulang bukan sekadar sebagai kewajiban, tetapi gerakan sosial. Ia harus dioptimalkan menjadi instrumen penguatan solidaritas dan pemerataan terutama bagi yang terdampak ekonomi, yang terpinggirkan, dan yang berada di wilayah 3T.

Kita perlu mendorong gerakan kurban yang inklusif, adil, dan berkeadilan. Kurban bukan hanya tentang mereka yang mampu menyembelih, tetapi tentang bagaimana kita menyambung kembali jaringan empati dalam kehidupan bermasyarakat.

Jutaan umat Islam saat ini berkumpul di Tanah Suci. Mereka datang dari berbagai bangsa, warna kulit, dan latar belakang. Namun mereka bersatu, mengenakan pakaian yang sama, berdiri dalam saf yang sama, menghadap kiblat yang sama. Inilah simbol Islam yang sejati: persaudaraan tanpa sekat.

Bangsa Indonesia seharusnya belajar dari momen ini. Kita terlalu sering terjebak dalam konflik identitas. Agama, etnis, politik, hingga preferensi digital. Kita lupa bahwa sebagai satu bangsa, kita telah disatukan oleh cita-cita bersama, yakni keadilan sosial, persatuan, dan kemaslahatan bersama.

NU, sebagai jam’iyyah diniyah dan ijtima’iyyah, senantiasa mengingatkan bahwa ukhuwah baik wathaniyah, islamiyah, maupun insaniyah adalah fondasi kebangsaan. Maka, mari jadikan Iduladha ini sebagai momen memperkuat kembali simpul-simpul persatuan, menjahit ulang kebersamaan yang sempat robek, dan meneguhkan kembali tekad untuk saling menjaga.

Indonesia adalah bangsa besar. Tapi kebesaran itu tidak cukup dijaga dengan pembangunan fisik dan pertumbuhan ekonomi. Ia harus dijaga dengan keteladanan moral. Dan Iduladha menawarkan hal itu pengorbanan yang ikhlas, pelayanan yang tulus, dan keberanian menegakkan kebenaran.

Mari kita sembelih ego sektoral demi kemaslahatan nasional. Mari kita rawat kepercayaan rakyat dengan kerja yang jujur. Mari kita kuatkan persatuan dengan cinta, bukan dengan curiga.

Semoga semangat Ibrahim menghidup dalam diri setiap kita, pemimpin dan rakyat, kaya dan miskin, tua dan muda. Agar Indonesia bukan hanya besar, tetapi juga beradab.

Selamat menunaikan Ibadah Haji dan Iduladha 1446 H.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Walillahilhamd.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |