Jakarta, CNBC Indonesia - Tax Amnesty di Indonesia kembali menjadi perhatian setelah wacana Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty masuk dalam daftar panjang Prolegnas 2025-2029.
Indonesia telah dua kali menyelenggarakan program Tax Amnesty di Era Reformasi yakni pada 2016 dan 2022, dengan hasil yang baik dari sisi penerimaan negara maupun deklarasi harta wajib pajak. Namun, rencana untuk mengulang program serupa menimbulkan perdebatan.
Di satu sisi, tax amnesty dianggap berhasil memperluas basis data perpajakan, sementara di sisi lain muncul kekhawatiran bahwa pengulangan program justru merusak kredibilitas sistem perpajakan dan mengirimkan sinyal keliru bahwa pelanggaran pajak akan selalu berakhir dengan pemutihan.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan adanya risiko besar bagi perekonomian dan kepatuhan wajib pajak jika program tax amnesty atau pengampunan pajak dilakukan secara berulang.
"Makanya kalau tax amnesty setiap berapa tahun ya udah nanti semuanya nyelundupin duit. Tiga tahun lagi buat tax amnesty, kira-kira begitu jadi message-nya kurang bagus," ujar Purbaya.
Menurutnya, keberlanjutan program pengampunan pajak akan justru mengirimkan sinyal keliru kepada para wajib pajak.
Alih-alih meningkatkan kepatuhan, hal tersebut justru membuka celah bagi pelanggaran dengan asumsi akan selalu ada kesempatan "pemutihan" di masa mendatang.
"Kalau amnesty berkali-kali, gimana jadi kredibilitasnya? Itu memberikan sinyal bahwa boleh melanggar, nanti akan ada amnesty lagi," tegasnya.
Purbaya menambahkan, alih-alih menggelar program jilid III, pemerintah sebaiknya fokus pada pengawasan, kemudahan administrasi, serta upaya mendorong pertumbuhan ekonomi agar basis pajak meningkat secara alami. Ia menekankan, pengampunan berulang kali hanya akan melemahkan integritas sistem perpajakan.
Berikut ini adalah perjalanaan Tax Amnesty jilid pertama dan kedua serta sejarah tentang sunset policy.
Tax Amnesty Jidil I
Program Tax Amnesty Jilid I di rilis pada 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017 berdasarkan UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Program ini menjadi salah satu terobosan dalam reformasi perpajakan nasional di era Presiden Joko Widodo.
Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, meningkatkan basis data perpajakan, serta menambah penerimaan negara untuk membantu pembiayaan pembangunan.
Wajib pajak orang pribadi maupun badan berhak mengikuti program ini, kecuali mereka yang sedang dalam penyelidikan karena tindak pidana perpajakan, ataupun dalam proses peradilan, hingga orang yang tengah menjalani hukuman pidana pajak.
Untuk bisa berpartisipasi dalam program Tax Amnesty I, WP harus mengajukan Surat Pernyataan Harta (SPH) yang berisi rincian harta yang belum dilaporkan yang disertai pembayaran uang tebusan dengan tarif khusu yang jauh lebih rendah dibandingkan tarif PPh normal.
Tarif uang tebusan ditetapkan berdasarkan periode pelaporan dan lokasi harta. Untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi ke Indonesia, sebagai berikut:
Hasil yang didapat dari Tax Amnesty jilid I tercatat cukup signifikan.
Pemerintah berhasil mengumpulkan deklarasi harta sebesar Rp4.813 triliun dengan rincian deklarasi harta di dalam negeri sebesar Rp3.633 triliun serta sisa nya berasal dari deklarasi harta di luar negeri.
Dana repatriasi mencapai Rp146 triliun. Sementara itu, penerimaan negara dari uang tebusan mencapai Rp130 triliun yang terdiri dari Rp90,3 triliun dari wajib pajak pribadi non UMKM, Rp7,5 triliun dari dari orang pribadi UMK, Rp4,3 triliun dari wajib pajak badan non UMKM, serta dari wajib pajak badan UKM senilai Rp620 miliar.
Total peserta yang mengikuti program ini mencapai 974 ribu pelaporan SPH, dari 921 ribu wajib pajak. Menurut pemerintah, jumlah tersebut masih kecil dibandingkan dengan potensi wajib pajak di tanah air.
Direktur Jenderal Pajak saat itu, Ken Dwijugiasteadi, menegaskan bahwa keberhasilan Tax Amnesty Jilid I tidak hanya diukur dari besarnya uang tebusan, tetapi juga dari peningkatan kepatuhan sukarela dan penguatan basis data perpajakan.
Pages