Menyikapi Pemisahan Pemilu: MPR dan Tugas Menjaga Arah Reformasi Konstitusi

4 hours ago 1

Gedung MPR/DPR/DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (ilustrasi)

Oleh JOHAN ROSIHAN; Anggota DPR RI Fraksi PKS

REPUBLIKA.CO.ID, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 12/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional (Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu Daerah (DPRD dan Kepala Daerah) merupakan momen penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Keputusan ini bukan hanya soal teknis pemilihan, melainkan menyentuh inti desain demokrasi kita yang telah dijalankan pasca-reformasi.

Setelah dua dekade pelaksanaan pemilu serentak sebagai wujud efisiensi dan konsolidasi politik, kini kita dihadapkan pada skenario baru: pemilu dua tahap yang menuntut kesiapan baru dari negara, partai politik, dan rakyat sebagai pemilih.

Perubahan ini tidak bisa dibaca sekadar dari sisi administratif atau logistik pemilu. Ia adalah ekspresi dari ketegangan antara idealisme efisiensi demokrasi dan realitas kompleksitas sistem pemerintahan. Kita harus memahami bahwa keputusan MK tidak muncul dalam ruang hampa; ia merefleksikan kritik atas praktik pemilu sebelumnya yang dianggap terlalu berat secara teknis dan menyulitkan pemilih untuk menentukan pilihan secara sadar.

Namun yang perlu diwaspadai adalah implikasi sistemik dari pemisahan ini. Jika tidak diatur dengan bijak, pemilu dua gelombang bisa memperpanjang suhu politik nasional secara terus menerus, menambah beban anggaran negara, serta memperlebar jarak koordinasi antara hasil pemilu nasional dan daerah. Demokrasi bisa menjadi lebih fragmentatif jika mekanisme penyatuannya tidak dipikirkan sejak awal.

Kita juga menghadapi tantangan baru dalam membangun kesadaran politik publik. Dengan pemilu yang berlangsung dua kali, ada potensi menurunnya partisipasi pemilih pada pemilu gelombang kedua, atau bahkan meningkatnya politisasi berlebihan karena jeda waktu yang lebih panjang. Potensi kelelahan politik (political fatigue) di tengah masyarakat harus menjadi perhatian.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara yang mengemban fungsi pengawal konstitusi harus hadir tidak hanya sebagai penonton perubahan, tetapi sebagai penjaga arah. MPR perlu memastikan bahwa setiap perubahan yang terjadi tetap dalam koridor semangat reformasi dan konsensus kebangsaan. Tugas ini bukan hanya simbolik, tetapi strategis untuk menjaga agar demokrasi tetap berjalan dalam rel kerakyatan, bukan sekadar aritmetika politik.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |