Negara Bukan Superhero: Tantangan Indonesia Membangun Institusi

3 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di Indonesia, keadilan kerap hadir jika kasus viral di media sosial. Dengan penerapan hukum (rule of law) berada pada peringkat 68 dari 142 (WJP 2024), tidak heran publik lebih percaya pada figur dari pada lembaga negara. Itu sebabnya tagar/Hastag #NoViralNoJustice menjadi populer.

Tesisnya sederhana: pembangunan multi-aspek di Indonesia masih dijalankan dengan model "superhero" mirip analogi Avengers. Peran dan komunikasi ketokohan menjadi begitu menonjol, seolah-olah mengabaikan peran lembaga negara.

Dalam alur cerita Avengers, keselamatan dunia berada pada segelintir orang. Sementara peran masyarakat nyaris nihil. Cerita semacam ini mungkin menghibur dalam dunia fiksi, namun berbahaya jika ditiru dalam praktik bernegara.

Jika pola peran tokoh begitu menonjol daripada peran institusi negara, maka pembangunan bersifat temporer dan sensasional. Kepercayaan akan berpusat pada aktor bukan pada legitimasi negara sebagai sistem pemerintahan berdaulat. Itulah tantangan nyata bagi Indonesia hari ini.

Negara Bukan Fiksi
Secara teori negara terdiri dari wilayah, pemerintah yang berdaulat, masyarakat/penduduk dan pengakuan dari negara lain. Oleh karena itu pengelolaan negara bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Pencapaian ini bisa dilakukan melalui berbagai model baik secara demokratis, semi demokratis, monarki, atau semi monarki. Pada esensinya tujuannya sama: kesejahteraan bersama. Pembeda utama terletak dari bagaimana kerja sama dari tiga komponen: politisi, pemerintah dan masyarakat.

Secara data, negara yang maju dengan model ketokohan (superhero) memiliki pembangunan dentuman besar namun berumur pendek dan ujungnya tidak berkesinambungan. Sebagai contoh Venezuela dengan Hugo Chavez yang jatuh miskin setelah limpahan minyaknya habis.

Robert Mugabe di Zimbabwe dengan hiperinflasi. Libya dengan Muammar Gaddafi hancur setelah pemimpin besar tumbang. Sementara di Sudan mulai dari Omar al-Bashir, Abdel Fattah al-Burhan, Muhammad Hamdan Dagalo, menunjukkan negara yang dibangun dengan ketokohan tanpa penguatan kelembagaan akan menyebabkan negara gagal.

Tentu ada negara yang diawali dengan model superhero tapi kemudian bisa berhasil dengan sangat baik seperti misalnya Jepang, Korea Selatan dan Singapura (dengan catatan: luas wilayah dan jumlah penduduk yang kecil). Sementara negara yang menggunakan pola manajemen dan pembangunan negara berdasarkan pada kombinasi ketokohan dan penguatan kelembagaan seperti Inggris-mampu bertahan cukup lama sebagai pemegang kekuatan dunia.

Negara dengan model non ketokohan seperti Amerika Serikat, Jerman, Belanda (kebanyakan negara Eropa) dan Australia lebih mendasarkan model pembangunan dan pengelolaan negara pada penguatan kelembagaan dan pembentukan konstitusi yang disucikan sebagai model kontrak sosial tertinggi, memiliki kecenderungan lebih stabil melalui goncangan politik dan pembangunan pola jangka panjang.

Superhero Landing
Pertanyaan mendasar adalah: Mengapa model pembangunan non-superhero lebih berkelanjutan dan sukses dalam jangka panjang? Dan mengapa model superhero ala Avengers, tidak mampu bertahan lama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita analisis secara seksama.

Pertama, model superhero menekankan pentingnya peran beberapa tokoh untuk melakukan perubahan. Model ini dalam bisnis sering dipakai dan biasanya pada awal pembentukan perusahaan visi dan misi dari founder sangat penting. Visi dan misi ini menjadi dasar dari konstitusi atau prinsip nilai dasar yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan.

Dalam konteks penyebaran agama dan kepercayaan, sosok ketokohan menjadi sangat penting untuk mengkomunikasikan ajaran kepada masyarakat tentu berdasarkan pada landasan kitab suci masing-masing. Jika kitab suci di sini bisa disamakan dengan konstitusi, rujukan utama dalam melaksanakan segala kegiatan.

Dalam konteks negara, para tokoh memiliki peran besar untuk membentuk konstitusi bersama dengan masyarakat. Peran masyarakat penting untuk di highlight karena negara tidak mungkin ada tanpa mereka.

Besarnya peran superhero bagi negara, bisnis dan agama secara teori bisa dilihat dari representasi nilai dari brand yang dibawakan tokoh tersebut. Nilai yang melekat pada orang ini seharusnya menunjukkan nilai dari produk tersebut.

Di sinilah sering kali terjadi kesalahan, tokoh ini tidak mampu mengkomunikasikan bahwa ia hanyalah komunikator dari nilai/brand yang disampaikan. Dalam konteks Pemerintahan dan Politik, sering kali model superhero menyebabkan pembangunan terjebak pada permainan politik yang berlandaskan pada ego dari mereka bukan dari kitab suci atau konstitusi.

Pertanyaannya adalah kenapa ia bisa terjebak? Ini kembali lagi pada kualitas dari Avengers tersebut, tokoh yang terjebak pada ilusi (self idolism) tidak akan mau membagi spotlight pada orang lain. Karena bagi dia, "ia adalah negara, bukan negara adalah kami".

Pada perjalanannya, negara yang mengutamakan superhero style ini tidak mampu berubah dari model ketokohan menjadi model pelaksanaan nilai. Sehingga siapa saja yang menjadi pemimpin cukup didasarkan pada kecakapan kepemimpinan dan aspek manajerial.

Superhero Take-Off Mode
Tentu saja pembangunan tidak bisa dilepaskan dari pentingnya pemimpin namun juga perlu dipahami bahwa "Pemimpin hanya ada jika ada followers". Kualitas pemimpin suatu negara sangat dipengaruhi oleh masyarakatnya. Negara dengan kualitas hidup dan pendidikan yang tinggi, dibangun atas moralitas dan prinsip "saling menghormati" meletakkan pengelolaan negara mereka pada landasan konstitusi dan peraturan-perundang-undangan yang sudah dibuat.

Sehingga ketika terjadi gejolak politik, siapapun nakhoda dari negara tersebut, rakyat akan mampu memilih nakhoda yang baik dan tentu saja pemimpin ini akan melakukan praktik pemerintahan negara sesuai dengan aturan.

Mungkin sekarang pertanyaannya adalah: Indonesia ada di model mana? Saya berpendapat bahwa Indonesia masih pada model Avengers. Model ini tercermin dari pengelolaan Negara, partai, pemerintah pusat dan daerah.

Dalam bahasa akademik orthodox "banyak raja-raja kecil". Negara esensinya adalah kerja bersama untuk tujuan bersama. Tanpa kita mengikuti konstitusi maka kita bukan bernegara tapi ber-avengers! di mana harapan sekadar fiksi.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |