Jakarta, CNBC Indonesia - Kabul, ibu kota Afghanistan yang dihuni lebih dari 6 juta jiwa, terancam menjadi kota besar pertama di dunia yang kehabisan air dalam 5 tahun ke depan.
Peringatan ini disampaikan dalam laporan terbaru Mercy Corps, yang menyoroti penurunan drastis muka air tanah akibat ekstraksi berlebihan dan perubahan iklim ekstrem.
"Prediksi tersebut didasarkan pada kesenjangan yang makin besar antara pengisian ulang air tanah dan ekstraksi tahunan. Tren ini telah diamati secara konsisten selama beberapa tahun terakhir, sehingga membuat ramalan tersebut kredibel," kata Assem Mayar, pakar manajemen sumber daya air dan mantan dosen Universitas Politeknik Kabul, dikutip dari Al Jazeera, Senin (7/7/2025).
Menurut laporan itu, akuifer Kabul telah menyusut antara 25 hingga 30 meter selama satu dekade terakhir, sementara kebutuhan air kota melebihi kapasitas pengisian ulang alamiah hingga 44 juta meter kubik per tahun. Jika tren ini berlanjut, kota ini bisa benar-benar kehabisan air pada 2030, mendorong potensi migrasi massal hingga tiga juta jiwa.
UNICEF juga mencatat hampir 50% dari sumur bor di kota tersebut kini telah mengering. Bahkan, sekitar 80% air tanah dinyatakan tidak layak konsumsi karena tercemar limbah, arsenik, dan kadar garam tinggi.
"Kami tahu kiamat sudah dekat," ujar Najibullah Sadid, peneliti senior dari Jaringan Profesional Air dan Lingkungan Afghanistan. "Tidak ada yang tahu kapan sumur terakhir akan kering, tapi semua indikator menunjukkan arah ke sana."
Laporan Mercy Corps juga menyoroti ketimpangan sosial yang semakin dalam akibat krisis ini. Warga kaya bisa mengebor sumur lebih dalam, sementara masyarakat miskin harus antre panjang di keran air umum.
"Penduduk yang lebih kaya mampu mengebor lubang bor yang lebih dalam, yang membatasi akses bagi yang termiskin," ujar Mayar. "Krisis ini pertama-tama menghantam mereka yang paling rentan."
Abdulhadi Achakzai, Direktur LSM Environmental Protection Trainings and Development Organization (EPTDO), menyebut anak-anak dari keluarga miskin terpaksa keliling kota setiap malam untuk mencari air.
"Setiap malam saya melihat anak-anak kecil membawa kaleng air, mereka tampak putus asa. Hidup mereka habis hanya untuk mengumpulkan air, bukan untuk belajar," ungkapnya.
Eksploitasi Industri dan Perubahan Iklim
Eksploitasi air juga datang dari industri. Menurut Sadid, lebih dari 500 perusahaan air minum dan minuman ringan beroperasi di Kabul. Salah satunya adalah Alokozay, yang disebut mengekstraksi hingga 1 miliar liter air tanah per tahun. Selain itu, sekitar 400 hektar rumah kaca di Kabul menyedot 4 miliar liter air untuk pertanian.
"Kami punya daftar panjang pihak yang mengambil air Kabul," ujarnya.
Perubahan iklim turut memperparah situasi. Dalam beberapa tahun terakhir, curah hujan di Afghanistan anjlok hingga hanya 45-60% dari rata-rata normal selama musim dingin.
"Tiga sungai utama yang menopang air tanah Kabul, Sungai Kabul, Paghman, dan Logar, sangat tergantung pada salju dari pegunungan Hindu Kush. Kini salju mencair lebih cepat dan jumlahnya berkurang," tulis Mercy Corps.
Sadid menambahkan, kenaikan suhu turut meningkatkan penguapan dan konsumsi air pertanian. Meskipun krisis air juga terjadi di provinsi lain, Kabul menjadi titik paling kritis karena lonjakan populasi yang tak terkendali.
Selain perubahan iklim, Sadid menyebut krisis ini juga dipicu oleh konflik puluhan tahun, kelemahan pemerintahan, dan sanksi internasional. Sejak Taliban kembali berkuasa pada 2021, banyak proyek infrastruktur air terhenti.
"Sebagian besar dana sebelumnya dialihkan untuk keamanan. Setelah Taliban berkuasa, sanksi menghambat proyek pembangunan penting," ujar Mayar. "Otoritas saat ini tidak memiliki kapasitas untuk mengelola krisis ini tanpa bantuan eksternal."
Salah satu proyek yang terhenti adalah proyek pasokan air Awater yang didanai Jerman. Proyek ini seharusnya memasok 44 miliar liter air per tahun dari akuifer Logar. Nasib Bendungan Shah-Toot yang didukung India juga tidak jelas sejak jatuhnya pemerintahan Ashraf Ghani.
Lalu Apa Solusinya?
Para ahli sepakat bahwa satu-satunya jalan keluar adalah pembangunan ulang infrastruktur air yang rusak parah.
"Dibutuhkan pembangunan sistem pasokan air dari sungai-sungai terdekat seperti Panjshir, serta pembangunan waduk dan sistem pemanenan air hujan," kata Achakzai.
Mayar menekankan pentingnya proyek pengisian ulang air tanah buatan sebagai fondasi solusi jangka panjang.
Namun, sanksi internasional dinilai menjadi hambatan utama. "Sanksi membatasi akses Afghanistan terhadap teknologi dan pendanaan penting. Ini memperparah krisis dan memaksa lebih banyak warga bermigrasi," ujar Achakzai.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gaza Masih Pilu, Pontang-panting Warga Cari Air Usai Gencatan Senjata