OJK: Permintaan Kredit Lebih Tinggi dari Pertumbuhan Dana Masyarakat di Bank

18 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencermati bahwa kebutuhan pembiayaan melalui kredit usaha tetap lebih tinggi dibandingkan keinginan masyarakat untuk menyimpan dana di bank. Hal ini terjadi di tengah perlambatan pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK).

Berdasarkan data per April 2025, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 8,88 persen year on year (yoy), melambat dibandingkan April 2024 yang sebesar 13,09 persen yoy. Sementara itu, pertumbuhan DPK per April 2025 mencapai 4,55 persen yoy, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 8,21 persen yoy.

“Optimisme terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih cukup baik, antara lain didorong oleh percepatan belanja dan stimulus ekonomi pemerintah, diharapkan dapat menarik minat investasi domestik dan meningkatkan permintaan kredit,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, dalam pernyataan tertulis, Jumat (13/6/2025).

Dian menjelaskan bahwa ketidakpastian global, seperti lambatnya penurunan suku bunga acuan (Fed Fund Rate), eskalasi perang dagang akibat kebijakan tarif impor oleh Amerika Serikat, serta konflik geopolitik di sejumlah kawasan, turut memberikan dampak terhadap ekonomi global dan domestik.

Salah satu dampak yang terlihat adalah pergeseran preferensi investasi ke aset yang dianggap lebih aman (safe haven asset) atau sektor yang telah stabil, meskipun menawarkan imbal hasil yang lebih rendah.

Di tengah dinamika global tersebut, penyaluran kredit nasional masih tumbuh meski mengalami perlambatan. Risiko kredit perbankan tetap terkendali, tercermin dari rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang masih di bawah 3 persen, serta tren cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang stabil.

Dari sisi likuiditas, perbankan nasional masih menunjukkan kondisi yang cukup terjaga, yang menandakan ruang perbankan untuk menyalurkan kredit masih terbuka.

OJK juga secara rutin melakukan stress test guna mengukur ketahanan perbankan terhadap potensi shock makroekonomi. Di samping itu, bank-bank juga melakukan stress test mandiri, baik dengan skenario sendiri maupun berdasarkan asumsi dari otoritas seperti OJK dan Bank Indonesia.

“Hasil stress test, baik dari OJK maupun perbankan, menunjukkan bahwa tingkat permodalan saat ini masih sangat memadai untuk menghadapi risiko akibat perubahan signifikan dalam kondisi makroekonomi Indonesia, seperti perlambatan ekonomi, perubahan nilai tukar, maupun penurunan nilai surat berharga,” ujar Dian.

sumber : ANTARA

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |