Perang Gaza 2023: Kebangkitan Kesadaran Umat dan Awal Transformasi Besar

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak semua perang besar di dunia memiliki bobot yang sama. Sebagian perang berakhir begitu dentuman meriam berhenti, sementara sebagian lain melampaui medan tempur dan mengubah kesadaran kolektif serta arah sejarah. Perang Gaza 2023 termasuk dalam kategori kedua. Ia bukan sekadar pertempuran militer antara kelompok perlawanan yang terkepung dengan kekuatan pendudukan bersenjata canggih, melainkan titik balik -no point to return- yang membangunkan umat Islam dari tidur panjang, merobohkan banyak topeng, dan mengatur ulang peta global maupun regional.

Dalam kelanjutan artikel sebelumnya tentang Zaman Transformasi Besar, perang Gaza menegaskan bahwa umat Islam hari ini tidak hidup dalam fase biasa, melainkan dalam era luar biasa di mana tatanan baru sedang terbentuk dan peluang kebangkitan kembali terbuka.

Kebangkitan Kesadaran Populis

Salah satu dampak paling nyata dari perang Gaza adalah meledaknya kesadaran di kalangan masyarakat Muslim, khususnya generasi muda. Jutaan orang menyaksikan langsung melalui media alternatif dan media sosial tragedi genosida, pengusiran, dan penghancuran, jauh dari narasi resmi Barat.

Gambar-gambar itu melahirkan kesadaran nyata dan segar, mengembalikan Palestina ke posisi pusat dalam hati umat. Lebih jauh lagi, kesadaran ini meluas ke opini publik global: unjuk rasa besar pecah di Eropa, Australia dan Amerika hampir tiap pekan, dan terbaru konser amal di Wembley Arena London pada 17 September 2025 bertajuk "Together for Palestine" yang menghadirkan selebriti, musisi dan aktor papan atas UK, menjadikan Palestina bukan hanya isu Arab-Muslim, tetapi juga isu kemanusiaan universal.

Hal ini memunculkan kembali rasa harga diri keagamaan dan kebangsaan, serta meruntuhkan tembok ketakutan untuk berbicara tentang Palestina, setelah sekian lama rezim-rezim Barat dan Arab berusaha melemahkan isu ini, bahkan menutup file ini dengan proyek normalisasi sejak ‘Deal of Century’ tahun 2018, lalu ‘Abraham Accords tahun 2020. Perang Gaza, 7 Oktober 2023 memorak-porandakan semua rancangan realitas baru Timur Tengah; ‘The New Middle East’ dan ‘The Greater Israel’ yang dipaksakan oleh Netanyahu.

Runtuhnya Topeng Barat

Perang Gaza membuka kedok Barat yang selama ini menyanjung-nyanjung kebebasan, hak asasi manusia, dan hukum internasional. Negara-negara Barat yang vokal membela “martabat individu” justru berdiri tegas mendukung penjajah yang membunuh anak-anak, perempuan, dan menghancurkan rumah sakit.

Keruntuhan moral ini melahirkan keyakinan mendalam bahwa Barat bukanlah "teladan peradaban" yang harus ditiru, melainkan ‘kekuatan kolonial’ dengan wajah baru. Akibatnya, citra Barat dalam kesadaran umat terguncang, dan pesona "kekaguman budaya" yang kita singgung dalam artikel sebelumnya mulai memudar.

Bagi umat Islam, hal ini sangat menentukan. Kekaguman berlebihan terhadap Barat sebagai “teladan dan kompas peradaban” mulai runtuh. Pertanyaan besar pun kembali menggema: mungkinkah umat Islam yang memiliki warisan rohani dan peradaban besar harus terus-menerus meniru kekuatan kolonial yang sarat kontradiksi nilai? Konfirmasi negatif jawaban pertanyaan itu akan menyambar banyak hal, mulai dari sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya hingga kurikulum pendidikan di dunia Islam harus dibebaskan dari hegemoni kolonialisme Barat.

Kembalinya Sentralitas Islam

Perang Gaza menjadi simbol global perlawanan, menghidupkan kembali gagasan bahwa Islam dan identitas Islam adalah sumber sejati dari keteguhan dan ketahanan (sumud). Umat melihat bahwa mereka yang bertahan bukanlah para pengusung slogan nasionalisme atau ideologi kiri, melainkan pemilik proyek Islam yang berakar dalam aqidah dan identitas. Hal ini meneguhkan bahwa Islamlah yang mampu mengarahkan kompas perjuangan pembebasan dari penjajahan pemikiran dan tanah air, bukan proyek impor dari luar.

Hal ini meneguhkan bahwa Islam bukan hanya semboyan, tetapi realitas yang bekerja di lapangan. Umat menyaksikan sendiri: satu-satunya kekuatan yang mampu menahan agresi zionis Israel dengan segala konsekuensinya adalah identitas Islam, bukan nasionalisme Arab, bukan pula sosialisme yang telah gagal di masa lalu.

Menghidupkan Kembali Rasa Persatuan

Perang Gaza membuat umat Islam dari Maroko hingga Indonesia, dari Tanja hingga Jakarta, merasakan emosi yang sama: marah, terluka, dan solidaritas. Bendera Palestina berkibar di stadion, jalan-jalan, dan kampus; masjid-masjid penuh dengan doa; bantuan kemanusiaan mengalir dari berbagai penjuru.

Fenomena ini mengingatkan bahwa umat Islam adalah satu tubuh. Palestina bukan isu bangsa tertentu, melainkan isu seluruh umat. Bahkan solidaritas juga datang dari kelompok non-Muslim, menandakan terbukanya peluang aliansi kemanusiaan global melawan ketidakadilan.

Retaknya Hegemoni Zionis

Meski memiliki kekuatan militer besar dan dukungan penuh Barat, Israel gagal mencapai tujuannya. Ia tidak mampu menghancurkan basis dan narasi perlawanan Islam Palestina, apalagi mematahkan semangat rakyat Gaza. Sebaliknya, kelemahan zionis justru tampak nyata di hadapan perlawanan yang terkepung dan minim sumber daya.

Kegagalan ini meruntuhkan mitos “tentara yang tak terkalahkan” yang selama puluhan tahun menakut-nakuti kawasan. Kini, wacana tentang runtuhnya proyek Zionis tidak lagi sebatas harapan, melainkan kemungkinan historis yang nyata.

Perubahan psikologis strategis ini akan meninggalkan dampak jangka panjang pada keseimbangan kekuatan, dan menanamkan keyakinan bahwa pembebasan Baitul Maqdis bukanlah hal mustahil.

Perubahan Peta Kekuatan Global

Perang Gaza membuktikan bahwa isu Palestina bukan lagi persoalan pinggiran. Ia menjadi faktor strategis dalam pembentukan ulang aliansi regional dan internasional. Tekanan rakyat memengaruhi kebijakan negara-negara, simpati internasional kian menguat, dan Palestina kembali ke pusat perhatian geopolitik.

Dalam konteks melemahnya dominasi Amerika dan munculnya kekuatan baru seperti China dan Rusia, isu Palestina berpotensi memainkan peran penting dalam membentuk tatanan dunia baru yang multipolar. Ini membuka ruang strategis bagi umat Islam untuk menguatkan posisinya di panggung global.

Kesadaran akan Transformasi Besar

Seperti yang ditegaskan sebelumnya, bahaya terbesar bagi seorang Muslim adalah tidak menyadari zaman yang sedang dijalaninya. Perang Gaza menegaskan bahwa kita hidup di masa luar biasa, saat peta, aliansi, dan kesadaran kolektif tengah berubah drastis.

Kesadaran ini harus diterjemahkan menjadi aksi yang terencana. Bukan sekadar reaksi emosional, melainkan program panjang untuk kebangkitan peradaban, penguatan identitas, dan pembangunan kekuatan.

Hari ini, umat dituntut untuk memanfaatkan kesadaran ini dalam membangun proyek peradaban yang menyeluruh—bukan hanya sekadar menolong Gaza, melainkan juga mengembalikan identitas dan posisinya.

Perang Gaza 2023 bukan sekadar konfrontasi militer biasa. Ia adalah momen kebangkitan kesadaran, momen jatuhnya topeng kekuatan kolonialisme global, momen kembalinya Islam sebagai episentrum perlawanan terhadap ketidakadilan global, serta momen lahirnya kembali keyakinan bahwa pembebasan Palestina adalah mungkin.

Ini adalah alarm sejarah sekaligus peluang emas. Jika umat mampu memanfaatkannya, maka jalan menuju pembebasan Palestina dan keruntuhan Zionisme terbuka lebar. Tetapi jika peluang ini dibiarkan berlalu, ia akan menjadi tragedi baru dari kelengahan umat. Sejarah tidak pernah menunggu mereka yang ragu. Gaza 2023 adalah panggilan bagi umat untuk bertindak cepat dan tepat.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |