Perang Saudara di Sudan Capai Titik Didih Mengerikan

10 hours ago 1

Citra satelit yang diambil oleh Airbus DS menunjukkan dua noda kemerahan di tanah dekat kendaraan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di lingkungan Daraja Oula di el-Fasher, Sudan, Senin, 27 Oktober 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM – Perang sipil Sudan yang telah berjalan lebih dari dua tahun belakangan terus meningkat eskalasinya. Dalam perkembangan terkini, pejuang paramiliter yang menggunakan kendaraan, unta dan berjalan kaki mengamuk melalui benteng terakhir militer Sudan di Darfur pada Selasa.

Mereka membunuh dan menahan ratusan orang dalam kekejaman terbaru dari perang yang telah berkecamuk di Sudan selama lebih dari 31 bulan. Pasukan Dukungan Cepat, atau RSF (Rapid Support Force), menyerbu kota el-Fasher, ibu kota negara bagian Darfur Utara, dalam apa yang disebut oleh Sekjen PBB sebagai “eskalasi yang mengerikan” dalam konflik tersebut.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.

Kelompok medis melaporkan bahwa pejuang RSF membunuh puluhan warga sipil dan menahan ratusan lainnya sejak mengambil alih pangkalan militer di kota tersebut pada Ahad.

Tentara mengatakan mereka mundur dari kota tersebut, dengan harapan dapat menyelamatkan warga sipil dari kekerasan lebih lanjut setelah lebih dari setahun serangan RSF di kota tersebut. Panglima militer Jenderal Abdel-Fattah Burhan mengatakan tentara mundur karena “penghancuran sistemik, dan pembunuhan sistematis terhadap warga sipil” oleh RSF.

Dalam pernyataan mengejutkan pada Selasa malam, pemerintah Sudan mengatakan pihaknya memerintahkan pengusiran Direktur Negara dan Direktur Operasi Program Pangan Dunia dan menyatakan mereka “persona non grata” tanpa memberikan alasan. Keduanya punya waktu 72 jam untuk meninggalkan negara itu. Ia menambahkan bahwa “keputusan ini tidak mempengaruhi kerja sama yang sedang berlangsung dengan Program Pangan Dunia di Sudan.”

Perang sipil Sudan dimulai pada April 2023 ketika ketegangan antara militer Sudan dan RSF meledak menjadi pertempuran terbuka di ibu kota, Khartoum, dan tempat lain di negara tersebut.

Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB mengatakan pihaknya menerima laporan yang dapat dipercaya mengenai kekejaman yang terjadi, termasuk eksekusi di tempat, serangan terhadap warga sipil di sepanjang rute pelarian, dan penggerebekan dari rumah ke rumah. Kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak perempuan, juga dilaporkan terjadi di kota tersebut, katanya.

Ribuan orang berusaha melarikan diri dari el-Fasher ketika kekerasan meningkat. Badan migrasi PBB memperkirakan lebih dari 26.000 orang berhasil meninggalkan kota tersebut. Komite Palang Merah Internasional mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa lebih dari 4.200 orang telah mencapai kamp di kota Tawila, di Darfur Utara, dalam dua hari terakhir.

sumber : The Associated Press

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |