Praktisi Hukum: RKUHAP Tidak Progresif, Abaikan Jaminan HAM

4 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Praktisi hukum Ifdhal Kasim menilai Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini tengah dibahas tidak progresif.

Ifdhal menyoroti pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum oleh pengadilan atau judicial scrutiny yang justru menghilang.

Demikian disampaikan Ifdhal dalam agenda 'Akademisi dan Praktisi Menggugat RKUHAP 2025: Revisi KUHAP untuk Siapa?' di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Senin (21/7).

"Kalau kita membaca dan mendengarkan masukan dan atau mengamati perdebatan mengenai pembahasan RUU KUHAP ini, maka kita bisa katakan sebetulnya RKUHAP sekarang-meskipun kalau kita baca di dalam penjelasan umumnya itu disebut bahwa mengoreksi apa yang kurang pada KUHAP yang berlaku sekarang dengan memberikan perluasan terhadap hak-hak tersangka, memberikan kewenangan yang besar kepada advokat dan seterusnya- tapi nyatanya sebetulnya tidak ada yang progresif," ujar Ifdhal.

"Jadi, sebetulnya yang power lebih banyak itu diberikan kepada penegak hukum, ketimbang kepada masyarakatnya atau rakyatnya. Nah, rakyat dianggap harus ikut apa yang maunya negara," lanjut dia.

Mantan Ketua Komnas HAM ini menuturkan penilaian tersebut tercermin dari Pasal-pasal terkait dengan penangkapan, penahanan, sampai dengan Praperadilan. Banyak muatan ketentuan yang bersandar pada alasan subjektif penyidik.

Dalam RKUHAP disebutkan polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari. Sementara KUHAP yang saat ini berlaku membatasi waktu maksimal 1x24 jam.

Polisi juga bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin Pengadilan dengan dalih keadaan mendesak.

Belum lagi mengenai hak memilih penasihat hukum yang dihapus. Ifdhal khawatir proses pendampingan hukum menjadi formalitas belaka, tidak sesuai keinginan tersangka atau terdakwa, dan membuka konflik kepentingan.

"Jadi, sebetulnya tidak ada yang lebih maju dari yang berlaku sekarang. Stagnasi saja dan bahkan cenderung lebih tidak memberi jaminan pada hak-hak asasi manusia maupun hak warga negara," kata dia.

Bantuan hukum

Ifdhal menuturkan praktik pemberian bantuan hukum oleh negara sampai saat ini tidak begitu maksimal. Anggaran yang dialokasikan ke bantuan hukum disebut sangat sedikit.

"Nah, ini karena dananya sedikit dan juga penyelenggaraannya juga tidak begitu dilakukan dengan baik juga ya, karena itu sebetulnya praktik pemberian bantuan hukum oleh negara ini tidak begitu maksimal," kata dia.

Oleh karena itu, Ifdhal memandang seharusnya RKUHAP mengatur lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut: bagaimana tanggung jawab negara dalam pemberian bantuan hukum kepada orang miskin.

"Inilah sebetulnya yang harus dijawab dalam RKUHAP ini. Bukan kemudian memindahkan itu kewajibannya kepada advokat. Advokat seakan-akan ditentukan di dalam RKUHAP ini bahwa salah satu kewajiban advokat itu adalah memberi bantuan hukum," tandasnya.

"Padahal kan mungkin yang dimaksud oleh pembuat Undang-undang ini jasa pemberian bantuan hukum itu antara lain bisa dilakukan oleh advokat. Maksudnya seperti itu. Bukan kemudian menjadikan itu wajib karena kewajiban (memberikan) bantuan hukum itu wajibnya disediakan oleh negara," lanjut Ifdhal.

(fra/ryn/fra)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |