Redefinisi Persaingan di Era Digital

3 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di tengah narasi global yang menggambarkan korporasi raksasa sebagai ancaman bagi persaingan usaha, pertanyaan mendasar layak diajukan: Apakah pasar benar-benar kehilangan dinamika kompetitifnya?

Pertanyaan tersebut menarik bila dikaitkan dengan putusan Pengadilan Distrik Columbia, November 2025, yang menolak tuduhan Federal Trade Commission (FTC) bahwa Meta (Facebook) memonopoli pasar personal social networking (PSN). Putusan ini--meski masih bisa diajukan banding--menjadi pengingat bahwa dinamika persaingan tak bisa diukur hanya dari ukuran perusahaan atau pangsa pasar.

Awalnya, FTC bersikeras bahwa Facebook, Instagram, Snapchat, dan MeWe bersaing dalam pasar tersendiri yang disebut PSN. Namun, pengadilan menemukan bahwa lanskap telah berubah drastis. Facebook dan Instagram kini jauh berbeda dari versi 2010-an, ketika konten dari teman yang saling terhubung mendominasi.

Kini, pengguna Amerika hanya menghabiskan 17% waktu di Facebook dan 7% di Instagram untuk melihat konten teman. Sisanya? Video pendek dari orang asing yang direkomendasikan algoritma--seperti TikTok dan YouTube. Perubahan ini mengaburkan batas antara social networking dan hiburan digital.

Bukti empiris menjadi kunci putusan. Prof. John List dari University of Chicago, misalnya, membuktikan melalui eksperimen lapangan (field experiments) bahwa ketika biaya menggunakan Meta naik, pengguna beralih ke YouTube dan TikTok.

Pengadilan juga mengandalkan "natural experiments" (situasi di mana aplikasi tiba-tiba tidak tersedia) mengungkap aplikasi mana yang konsumen anggap sebagai alternatif terbaik. Larangan TikTok di India (2020) dan gangguan layanan TikTok di AS (Januari 2025) menunjukkan respons serupa bahwa lonjakan penggunaan Facebook dan Instagram hingga 150%. Temuan ini mengonfirmasi bahwa platform digital kini saling menggantikan, terlepas dari kategori formal seperti PSN.

Perspektif Teoretis
Teori-teori ekonomi mendukung temuan ini. Pertama, contestable markets theory (Baumol, 1982). Teori ini menunjukkan bahwa konsentrasi pasar tidak otomatis menghasilkan market power, jika hambatan masuk rendah. Ancaman masuknya kompetitor (threat of entry) saja sudah cukup memaksa incumbent berperilaku kompetitif.

Kedua, two-sided platform theory (Rochet & Tirole, 2003; Armstrong, 2006). Platform seperti Shopee atau Tokopedia beroperasi di dua sisi, yaitu konsumen dan merchant.

Nilai platform meningkat dengan jumlah pengguna di kedua sisi. Semakin banyak konsumen, semakin menarik bagi merchant. Begitu pun sebaliknya, semakin banyak merchant, semakin menarik bagi konsumen. Ini menciptakan natural tendency towards concentration. Tapi ini tidak otomatis berarti monopoli eksploitatif, jika pengguna (konsumen) bisa menggunakan beberapa platform sekaligus (multi-homing).

Ketiga, creative destruction (Schumpeter, 1942). Persaingan sejati terjadi melalui inovasi yang terus-menerus menggantikan teknologi dan model bisnis lama. Dalam kerangka ini, ukuran perusahaan atau pangsa pasar besar tidak otomatis menandakan kegagalan persaingan, selama pasar tetap terbuka bagi inovator baru dan incumbent terus tertekan untuk berinovasi.

Indonesia menjadi saksi bagaimana teori-teori itu terbukti. BlackBerry pernah jaya, lalu tumbang oleh Android dan iPhone. Contoh lain, dominasi Kaskus di social media digantikan Facebook, lalu Instagram, dan kini TikTok.

Begitu pun dengan Tokopedia yang awalnya bersaing dengan Bukalapak, kini harus bersaing ketat dengan Shopee yang datang belakangan, dan bahkan "was-was" dengan TikTok Shop dengan model social commerce yang sangat berbeda--di mana akhirnya induk usaha TikTok, yaitu ByteDance, mengakuisisi mayoritas saham (75%) Tokopedia.

Menuju Regulasi yang Adaptif dan Berbasis Bukti
Putusan FTC v. Meta menawarkan panduan metodologis bagi otoritas (regulator) seperti KPPU. Pertama, definisi pasar harus berbasis persepsi konsumen, bukan kategori kaku.

Ketika TikTok Shop sempat diblokir lalu diizinkan setelah akuisisi Tokopedia, pertanyaan muncul: Apakah ini kemenangan persaingan atau konsolidasi kekuatan? Jawabannya memerlukan analisis substitusi nyata--ke mana konsumen beralih saat layanan terganggu--bukan asumsi "big is bad."

Kedua, indikator persaingan perlu diperluas. Alih-alih hanya menghitung pangsa pasar atau Herfindahl-Hirschman Index (HHI), otoritas harus memantau: (1) kecepatan inovasi--frekuensi peluncuran fitur baru dan investasi R&D; (2) kesejahteraan konsumen--perubahan harga, kualitas layanan, dan kemudahan beralih platform; dan (3) daya tarik pasar--seberapa mudah pemain baru masuk, seperti maraknya startup fintech di Indonesia.

Ketiga, regulasi perlu gesit. Uni Eropa dengan Digital Markets Act mewajibkan interoperabilitas data untuk mengurangi lock-in effect. Indonesia bisa meniru dengan merevisi UU Antimonopoli, menerapkan mekanisme regulatory sandbox untuk merger, atau membuat unit khusus analisis algoritma seperti UK Competition and Markets Authority.

Dinamika Hukum dan Kebijakan
Putusan FTC v. Meta bukan akhir dari debat. Proses banding bisa mengubah nasib Meta, tetapi metodologinya--mengandalkan bukti lapangan dan dinamika konsumen--tetap relevan. Seperti aliran sungai, pasar digital terus berubah. Tugas regulator bukan melawan konsentrasi, tetapi memastikan konsentrasi itu lahir dari inovasi, bukan hambatan artifisial.

Hal ini bukan berarti menghapus kekhawatiran bahwa dominasi pasar berpotensi merusak persaingan. Namun, respons regulasi tidak boleh kaku. Kunci utamanya adalah membedakan antara perusahaan besar yang tumbuh karena kompetisi sehat dengan perusahaan yang menjadi monopoli eksploitatif.

Masa depan persaingan usaha justru ditentukan oleh kelincahan regulasi dalam mengikuti dinamika pasar, bukan sekadar oleh ukuran perusahaan. Prinsip dasarnya harus tetap terjaga: penilaian difokuskan pada dampak terhadap kesejahteraan rakyat (konsumen) dan inovasi berkelanjutan, bukan hanya pada pangsa pasar.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |