Big Stories 2025
Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
29 December 2025 17:10
Jakarta, CNBC Indonesia- Pasar minyak dunia di sepanjang 2025 diguncang konflik geopolitik, kebijakan OPEC+ serta dibentuk oleh satu variabel dominan yakni kelebihan pasokan.
Sepanjang 2025, ada empat titik krusial harga minyak global.
1. Harga minyak mentah acuan Brent pada perdagangan sesi Rabu (16/1/2025) melejit 2,64% ke US$82,03 per barel. Sementara acuan West Texas Intermediate melesat 3,28% ke US$80,04 per barel.
Harga minyak naik karena penurunan stok minyak mentah Amerika Serikat (AS) yang lebih besar dari perkiraan menambah kekhawatiran pasokan yang diperburuk oleh sanksi AS terhadap perdagangan energi Rusia.
Harga minyak juga ditopang oleh kekhawatiran global menjelang pelantikan Presiden AS Donald Trump pada 20 Januari 2025.
2. Harga minyak kembali mendidih, pada Rabu (18/6/2025) di mana harga minyak mentah Brent ditutup di level US$ 76,38 per barel, sementara WTI stagnan di US$ 74,84 per barel.
Lonjakan harga didorong oleh kabar bahwa ladang gas South Pars milik Iran mengalami kebakaran akibat serangan Israel. Depo minyak Shahran juga dilaporkan turut jadi sasaran.
3. Harga minyak dunia tergelincir tajam hingga menyentuh level terendah dalam empat tahun terakhir pada awal Mei.
Mengacu pada data Refinitiv per Senin (5/5/2025), harga minyak Brent kontrak Juli (LCOc1) ditutup melemah 3,4% ke level US$59,18 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) kontrak Juni (CLc1) ikut merosot 3,8% ke posisi US$56,09 per barel.
Tekanan datang dari keputusan OPEC+ yang mempercepat peningkatan produksi secara agresif, memperparah kekhawatiran pasar akan kelebihan pasokan di tengah permintaan yang melemah.
4. Harga minyak dunia kembali tergelincir pada perdagangan Selasa (16/12/2025). Selain reaksi harian, pelemahan ini nampaknya merupakan sinyal bahwa pasar mulai mengubah cara pandangnya terhadap keseimbangan energi global. Level ini menempatkan harga minyak ada di titik terendah sejak awal Februari 2021 atau lebih dari empat tahun terakhir. Penurunan ini dinilai refleksi dari melemahnya premi risiko geopolitik.
Data Refinitiv mencatatharga minyak brent pada 16 Desember 2025 ditutup di posisi US$ 58,92 per barel sementara jenis WTI ada di US$ 55,82 per barel.
Konflik Rusia-Ukraina yang selama ini menjadi penopang harga perlahan kehilangan daya dorongnya, seiring menguatnya ekspektasi bahwa jalur diplomasi mulai terbuka. Optimisme tersebut menguat setelah Amerika Serikat dilaporkan menawarkan jaminan keamanan bergaya NATO kepada Ukraina dalam pertemuan tingkat tinggi di Berlin. Sinyal politik ini dinilai pasar sebagai indikasi bahwa perang tidak lagi bergerak ke arah eskalasi, melainkan menuju negosiasi. Bagi pasar minyak, jika konflik mereda, ruang pelonggaran sanksi terhadap Rusia terbuka, dan barel minyak yang selama ini terhambat berpotensi kembali ke pasar global. Dalam kondisi pasokan yang sudah longgar, tambahan suplai ini menjadi tekanan nyata bagi harga. Tekanan dari sisi permintaan datang hampir bersamaan, terutama dari China. Data ekonomi terbaru menunjukkan aktivitas industri dan konsumsi melemah.
Pasar menilai perlambatan ini sebagai sinyal bahwa mesin permintaan energi terbesar dunia sedang kehilangan momentum. Ketika China melambat, pasar minyak global nyaris kehilangan jangkar permintaannya.
Kelebihan Pasokan Jadi Beban Minyak
Produksi global naik sekitar 3 juta barel per hari, sementara konsumsi hanya bertambah 830 ribu barel per hari.
Selisih lebih dari dua juta barel per hari itu menjadi surplus struktural. Dalam sistem perdagangan minyak, surplus ini langsung mengubah perilaku pelaku pasar karena setiap barel tambahan harus disimpan atau dijual dengan diskon.
Surplus itu tercermin dalam akumulasi stok. Dari Januari hingga November 2025, persediaan minyak global bertambah 424 juta barel atau rata-rata 1,3 juta barel per hari . Kenaikan terbesar terjadi pada minyak yang berada di laut. Volume terapung naik karena sebagian besar barel, terutama dari negara yang terkena sanksi, tidak langsung masuk ke jaringan kilang. Secara ekonomi, minyak yang berada di laut merupakan stok yang tidak produktif dan menekan struktur harga forward.
Rusia menjadi contoh utama bagaimana sanksi menggeser arus tanpa mengurangi volume. Ekspor Rusia turun sekitar 400 ribu barel per hari pada November. Harga Urals jatuh ke US$43,52 per barel dan pendapatan ekspor turun menjadi US$11 miliar . Minyak tetap diproduksi dan dikapalkan, tetapi pembeli menuntut diskon lebih besar untuk menanggung risiko sanksi dan logistik. Diskon itu menular ke pasar fisik global.
Iran dan Venezuela menambah tekanan yang sama. Iran mempertahankan pengiriman sekitar 1,9 juta barel per hari. Ketika kuota impor kilang independen di China habis, minyak Iran tetap dikapalkan dan berpindah menjadi stok terapung. Sejak Agustus, minyak Iran di laut bertambah sekitar 40 juta barel . Ini memperbesar persediaan global tanpa menciptakan konsumsi baru.
Di tingkat kebijakan, OPEC+ mempercepat pelepasan pemangkasan produksi 2,2 juta barel per hari pada September. Secara kuantitatif, keputusan ini meningkatkan pasokan efektif di saat stok global sudah naik. Bank-bank investasi menilai langkah tersebut mendorong pasar menuju surplus yang lebih besar pada 2026 . Dalam konteks neraca, tambahan pasokan ini memperkuat ekspektasi bahwa kapasitas produksi melebihi kapasitas penyerapan.
Permintaan tidak bergerak cukup cepat untuk mengimbangi pasokan. Badan Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) mencatat pertumbuhan konsumsi didorong avtur dan gasoil, sementara sektor pembangkit listrik di Timur Tengah dan Eropa beralih ke gas dan surya . Struktur permintaan ini membuat pertumbuhan minyak bersifat sempit dan tidak mampu menyerap tambahan jutaan barel dari sisi produksi.
Distorsi muncul di segmen hilir. Gangguan kilang dan pembatasan impor produk Rusia oleh Uni Eropa mendorong margin pengolahan naik tajam. Pasar produk menjadi ketat, sementara pasar crude tetap longgar . Dalam situasi ini, kilang membeli minyak mentah sesuai kebutuhan jangka pendek dan tidak membangun stok besar, sehingga tekanan pada harga crude tidak berkurang.
Faktor makro memberikan dukungan terbatas. The Federal Reserve menurunkan suku bunga hingga 3,50-3,75% dan ekonomi AS tumbuh 4,3% pada kuartal III 2025 . Namun tarif perdagangan global dan perlambatan konsumsi di China membatasi ekspansi permintaan minyak dunia. Kenaikan aktivitas ekonomi tidak mengubah kondisi surplus.
Akumulasi semua faktor tersebut menjaga harga tetap rendah. Pada November, Brent berada di sekitar US$63 per barel, mendekati titik terendah empat tahun . Harga tersebut mencerminkan pasar yang lebih dipengaruhi oleh volume stok dan arus pasokan daripada oleh risiko geopolitik.
Memasuki akhir tahun, proyeksi konsisten menunjukkan kelanjutan kondisi ini. IEA memperkirakan surplus rata-rata sekitar 3,7 juta barel per hari dari kuartal IV 2025 hingga 2026 . Goldman Sachs dan EIA sama-sama memproyeksikan harga Brent bergerak ke kisaran US$50-an pada awal 2026 .
Minyak sepanjang 2025 dikendalikan oleh neraca. Pasokan tumbuh lebih cepat daripada konsumsi. Stok naik. Diskon meluas. Dalam struktur seperti ini, harga bergerak mengikuti aritmetika volume, bukan narasi.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)

3 hours ago
1
















































