Refleksi Lingkungan di Ambang 80 Tahun Kemerdekaan, Menagih Janji Kemerdekaan Ekologis

4 hours ago 1

Oleh : Marningot Tua Natalis Situmorang, Ketua Prodi Manajemen Lingkungan USAHID

REPUBLIKA.CO.ID, Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, bangsa ini berada di sebuah persimpangan krusial. Gema pembangunan, modernisasi, dan pertumbuhan ekonomi yang menjadi narasi besar sejak proklamasi kini berhadapan dengan sebuah realitas yang tak terhindarkan yaitu krisis lingkungan yang mengancam fondasi masa depan bangsa.

Kemerdekaan yang sejati bukan hanya bebas dari penjajahan politik, tetapi juga merdeka dari ancaman bencana ekologis, kelangkaan sumber daya, dan udara beracun. Pada titik ini, kita harus berani bertanya, sudahkah Indonesia benar-benar merdeka secara ekologis?

Jawaban jujurnya adalah belum, dan jalan kita masih sangat terjal. Delapan dekade pembangunan telah diwarnai oleh sebuah paradoks yang menyakitkan. Di satu sisi, kita berhasil mengangkat jutaan orang dari kemiskinan dan membangun infrastruktur masif. Di sisi lain, harga yang dibayar oleh alam terlalu mahal. Warisan alam yang seharusnya menjadi modal abadi justru dieksploitasi dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, menciptakan utang ekologis yang akan ditagih oleh generasi mendatang.

Pertumbuhan Ekonomi di Atas Puing-Puing Ekologi

Data dan fakta di lapangan melukiskan gambaran yang suram. Pembangunan yang bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam telah meninggalkan luka yang dalam. Pertama, salah satu luka paling kentara adalah deforestasi yang tak terkendali. Meskipun pemerintah mengklaim laju deforestasi menurun, Indonesia tetap kehilangan ratusan ribu hektar hutan setiap tahunnya.

Menurut data Global Forest Watch, antara tahun 2002 dan 2023, Indonesia kehilangan 9,95 juta hektar hutan primer, setara dengan 11% dari total tutupan pohon pada tahun 2000. Hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia dan rumah bagi keanekaragaman hayati tak ternilai, terus dikonversi untuk perkebunan monokultur (terutama kelapa sawit), pertambangan, dan proyek infrastruktur.

Kedua, di wilayah perkotaan, masalahnya beralih menjadi polusi udara sebagai pembunuh senyap. Kota-kota besar seperti Jakarta secara rutin menduduki peringkat teratas kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Indeks Kualitas Udara (AQI) yang sering kali berada pada level "tidak sehat" hingga "berbahaya" bukan lagi anomali, melainkan rutinitas.

Sumber utamanya adalah emisi dari sektor transportasi yang tidak ramah lingkungan dan industri, terutama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang masih menjadi tulang punggung energi nasional. Polusi ini bukan sekadar angka; ia adalah ancaman nyata bagi kesehatan jutaan warga, menyebabkan penyakit pernapasan akut, masalah kardiovaskular, dan penurunan harapan hidup.

Ketiga, sementara itu, wilayah perairan kita menghadapi krisis sampah plastik di lautan. Sebagai negara kepulauan terbesar, laut adalah urat nadi kehidupan bangsa. Ironisnya, Indonesia adalah salah satu penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar di dunia.

Diperkirakan ratusan ribu ton sampah plastik mengalir ke laut setiap tahun, merusak ekosistem terumbu karang, mengancam biota laut, dan masuk kembali ke rantai makanan manusia melalui mikroplastik. Program "Indonesia Bersih Sampah 2025" tampak seperti target ambisius yang semakin jauh dari jangkauan tanpa perubahan perilaku dan kebijakan yang radikal.

Kondisi ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik. Pertumbuhan ekonomi yang kita kejar selama ini adalah pertumbuhan yang "kotor" dan tidak berkelanjutan. Model pembangunan ini mengabaikan biaya eksternalitas, biaya kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan itu sendiri.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |