REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Rektor IPB University Arif Satria mengatakan sustainability, humanity, dan resilience menjadi tiga faktor kunci yang menentukan arah sektor pertanian dan ketahanan pangan nasional. Arif menyampaikan konsep endogenous growth theory atau teori pertumbuhan ekonomi endogen, yakni model ekonomi yang mengoptimalkan potensi internal negara, dari peraih Nobel Ekonomi 2018 Paul Romer, dapat menjadi panduan.
Dalam konsep endogenous growth theory tersebut, lanjut Arif, Romer menyebut pertumbuhan ekonomi masa depan akan sangat ditentukan oleh kekuatan inovasi. Romer juga menekankan pentingnya kekuatan research and development (R&D) atau penelitian dan pengembangan (litbang), serta entrepreneurship.
“Oleh karena itu, tidak ada cara lain ketika Indonesia ingin menjadi negara besar, maka tumpuan pada kekuatan R&D, inovasi, dan human capital yang kuat ini sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi,” ujar Arif dalam acara Peringatan 50 Tahun Ilmu Ekonomi Pertanian IPB: Golden Jubilee dan Temu Alumni Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian di Auditorium Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/11/2025).
Arif menyampaikan peran vital inovasi dan litbang juga tergambar pada hasil Global Innovation Index (GII) bulan lalu yang menempatkan Indonesia di posisi ke-55. Ia menyebut, semakin tinggi tingkat GII, semakin besar pula potensi peningkatan PDB suatu negara dan peluang universitas-universitas di negara tersebut menembus 200 besar dunia.
“Oleh karenanya penting bagi kita untuk terus memperkuat riset dan inovasi,” ucapnya.
Arif menilai FEM, khususnya Program Studi Ekonomi Pertanian di IPB, memiliki kontribusi penting, tidak hanya dalam memahami situasi, tetapi juga dalam memberikan perspektif baru dan menawarkan solusi terhadap berbagai persoalan saat ini maupun potensi masalah di masa depan. Ia mengatakan, dunia kini tengah memasuki era 5.0 yang menuntut pendekatan presisi dalam menyandingkan smart technology, keberlanjutan, dan keadilan sosial.
Arif menyampaikan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah mewariskan model kebijakan yang bertumpu pada empat pro: pro-job, pro-poor, pro-growth, dan pro-environment, yang menurutnya masih relevan hingga kini. Arif mencontohkan, kunci pertama resilience atau peningkatan daya saing selaras dengan pro-growth, unsur keberlanjutan erat dengan pro-environment, serta isu humanity yang dalam perspektif SBY berkaitan dengan pro-poor dan pro-job.
“Ini perspektif yang harus terus kita kedepankan, melihat kondisi hari ini sambil menawarkan hal-hal baru,” lanjut Arif.
Dengan begitu, ujar Arif, Prodi Ekonomi Pertanian dapat menerapkan berbagai pendekatan riset menggunakan big data dan menganalisis potensi pemanfaatan blockchain untuk menyelesaikan masalah rantai pasok pertanian. Ia menilai, kemampuan dalam mengkritisi teknologi terkini harus dilakukan dengan pendekatan yang holistik.
“Tapi juga kita harus bersikap kritis agar apa yang kita kembangkan dengan teknologi baru itu benar-benar memberi manfaat bagi kemajuan bangsa. Di sinilah peran IPB, khususnya FEM, melalui pendekatan teknologi baru dan keberlanjutan,” sambungnya.
Arif menegaskan, upaya keberlanjutan akibat perubahan iklim sangat penting bagi sektor pertanian. Ia memproyeksikan, setiap kenaikan satu derajat Celsius berpotensi menurunkan produksi beras sebanyak 10–20 persen, menurunkan produksi susu dan daging, serta mengurangi kandungan zat gizi mikro pada produk pertanian.
Ia menyampaikan, simulasi yang dilakukan IPB juga memperkirakan kenaikan suhu bumi dapat menurunkan, bahkan menghilangkan, produksi kopi pada 2080. Arif menyebut, hal itu akan terjadi apabila tidak ada langkah konkret untuk menahan laju perubahan iklim.
“Karena itu, kita harus hadir dengan solusi pangan yang ramah terhadap perubahan iklim,” kata Arif.

4 hours ago
2






































