Endro Priherdityo
It Was Just an Accident keruan sudah mengisi jajaran atas daftar film terbaik saya tahun ini.
Jakarta, CNN Indonesia --
It Was Just an Accident adalah salah satu contoh film yang sangat efisien dan efektif di mata saya, baik dari segi penuturan dan penggarapan naskah, dramatisasi, hingga pengadeganan, serta sajian visual di layar lebar.
Tak heran bila film ini diberi hadiah tertinggi Cannes Film Festival 2025, Palme d'Or. Dan tak heran pula Prancis semangat menjadikan film karya sineas Iran, Jafar Panahi, dan berbahasa Persia ini sebagai wakil mereka ke Oscar 2026.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi saya, karya Panahi sungguh menyegarkan pikiran sekaligus mengingatkan saya apa arti penting dari pembuatan film, yakni soal cerita kehidupan. Bukan semata-mata produksi yang megah, visual penuh efek yang grande, atau pun bintang terkenal.
Panahi benar-benar sangat fokus dalam membuat film ini. Bahkan bila dipikir-pikir, saking simpelnya, gagasan cerita It Was Just an Accident mungkin terkesan sangat sederhana atau gagasan yang muncul dari mereka yang tak terbebani target box office. Simpel, bebas, lepas.
Bahkan latar waktu dalam film ini, dari latar babak awal hingga klimaks, rasanya cuma 24-30 jam. Akan beda hasil prediksinya bila ikut menyertakan epilog yang membuat saya ingin langsung datang ke Panahi dan bertanya lebih detail soal adegan itu.
Kepadatan cerita bagai bakcang tersebut juga terlihat dari cara Panahi menyebar konteks cerita di sepanjang babak, sejak awal hingga konflik utama. Satu per satu, konteks cerita diberikan lewat dialog-dialog kasual antar karakter.
Review Film It Was Just An Accident (2025): Panahi menyajikan thriller dalam It Was Just an Accident lewat dinamisasi dan konflik antar lima karakter geng dadakan itu. (dok. Jafar Panahi Film Productions/Les Films Pelléas/Bidibul Productions via IMDb)
Dengan cara itu, Panahi menempatkan penonton sebagai orang luar yang mendadak masuk ke kelompok yang sedang berbagi cerita internal mereka, dan mulai memahami dinamika kelompok itu dari mengamati percakapan serta hubungan satu pihak dengan yang lain.
Namun cara itu pula yang membuat film ini terasa spesial. Panahi menyajikan thriller dalam It Was Just an Accident lewat dinamisasi dan konflik antar lima karakter geng dadakan itu.
Ketegangan film ini muncul berkat emosi para karakternya, sebagai buah dari trauma masa lalu yang tak terduga muncul di depan mata. Panahi tak perlu banyak adegan mengagetkan atau kekerasan brutal, atau scoring lebai, untuk membuat penonton ikut geregetan dan gelisah menantikan apa yang akan terjadi berikutnya.
Maka wajar, saya merasa Jafar Panahi sukses memanipulasi waktu selama saya menyaksikan film ini. Pada awalnya, semua terasa membingungkan, tetapi seiring kedatangan para karakter dan konflik yang menyertainya, cerita demi cerita yang datang bagai potongan teka-teki, hingga akhirnya tak sadar kredit pun datang.
Bahkan saya berharap ada post-credit scene, hingga lampu bioskop yang menyala membuyarkan harapan itu.
Review film It Was Just an Accident: Konflik intens yang disampaikan secara monolog dengan pemain yang berbeda dalam adegan-adegan tersebut adalah kunci jawaban besar atas film ini. (dok. Jafar Panahi Film Productions/Les Films Pelléas/Bidibul Productions via IMDb)
Meski datang dengan cara sepotong-potong, konteks cerita yang ditulis langsung oleh Jafar Panahi ini sungguh memiliki pesan yang luar biasa kuat. Mulai dari perjuangan melawan trauma masa lalu, menghadapi ketakutan dan keraguan, hingga melawan tiran dan berjuang mempertahankan kemerdekaan individu.
Mungkin, faktor pengalaman Panahi beberapa kali dipenjara oleh rezim di Iran adalah faktor utama yang membuat film ini juga terasa personal, walaupun disampaikan melalui sekelompok karakter.
Saya jelas angkat topi untuk seluruh pemain dalam film ini, terutama Mohamad Ali Elyasmehr, Mariam Afshari, dan Ebrahim Azizi yang memainkan beberapa adegan konflik dalam one take shot.
Melakukan one shot adegan konflik saja bagi saya itu sebuah prestasi tersendiri, karena memang tidak mudah dalam melakukannya baik sebagai aktor maupun sebagai sutradara. Akan tetapi, Panahi dan para pemainnya sanggup melakukannya lebih dari sekali.
Keberadaan beberapa adegan one shot ini pun terbilang sangat penting. Konflik intens yang disampaikan secara monolog dengan pemain yang berbeda dalam adegan-adegan tersebut adalah kunci jawaban besar atas film ini. Artinya, beban besar tersebut sukses disampaikan dengan mulus.
Saya tak terbayang bagaimana persiapan dan kerja keras Elyasmehr, Afshari, atau Azizi dalam membawakan adegan-adegan penting itu. Apalagi adegan dilakukan di luar ruangan yang mayoritas mengandalkan pencahayaan alami. Karena bila gagal, sudah pasti harus mengulang dari awal dan akan dikejar oleh waktu.
Namun Vahid Mobasseri, Majid Panah, dan Hadis Pakbaten juga punya memiliki peran penting dalam membangun atmosfer dalam adegan di film ini. Ketiganya sesekali memberikan suasana ringan di antara cerita yang sebenarnya gelap.
Dengan sajian seperti ini, saya tak heran bila It Was Just an Accident adalah salah satu kandidat kuat di Oscar 2026. Saya akan sangat heran bila film ini tak masuk dalam daftar nominasi Best International Feature Film, mengingat cerita, produksi, dan pesan dalam film ini yang bisa masuk dalam situasi sosial-politik di berbagai negara saat ini.
Terlepas dari rezeki film ini di Oscar 2026 yang baru akan terlihat beberapa bulan mendatang, It Was Just an Accident keruan sudah mengisi jajaran atas daftar film terbaik saya tahun ini, dan film yang akan saya tonton lagi suatu kali nanti.
(end)

2 hours ago
2
















































