Rupiah Tak Sendirian, Mata Uang Asia Keok Lawan Dolar AS

3 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah terpaksa menelan pil pahit, karena sepanjang pekan ini terpantau tak kuat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tak hanya rupiah saja, mata uang Asia lainnya juga keok melawan dolar AS.

Melansir Refinitiv, pada penutupan perdagangan Jumat (26/9/2025), rupiah menguat tipis 0,06% ke posisi Rp 16.725/US$. Rupiah sempat merana pada perdagangan Kamis lalu.

Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,84% secara point-to-point dengan sang greenback. Sejatinya, rupiah sudah mulai melemah sejak perdagangan Senin awal pekan ini. Namun di perdagangan Kamis lalu, pertama kalinya sejak April 2025, rupiah melemah ke level psikologis Rp 16.700/US$.

Jika dibandingkan mata uang Asia lainnya, kinerja rupiah bukan menjadi yang terburuk sepanjang pekan ini. Ada beberapa mata uang Asia lainnya yang justru ambles hingga 1%, bahkan 2% saat melawan dolar AS.

Peso Filipina menjadi yang terburuk pada pekan ini, di mana mata uang Negeri Mutiara Laut dari Timur ini ambruk 2,09% melawan dolar AS. Selain peso Filipna, ada baht Thailand yang juga ambruk hingga 1,19% dan yen Jepang yang ambles 1,05%.

Mata uang Asia sepanjang pekan ini tak ada satupun yang kuat melawan dolar AS.

Melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), termasuk juga mata uang Asia lainnya, tak bisa dilepaskan dari penguatan indeks dolar AS (DXY). Indeks yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia ini mencatat kenaikan signifikan dalam beberapa hari terakhir.

Sepanjang pekan ini saja, indeks dolar AS sudah menguat 0,52% secara point-to-point.

Kenaikan DXY terjadi setelah Bank Sentral AS (The Fed) memangkas suku bunga acuan nya di September, sekaligus mencatatkan untuk pertama kali di 2025.

Normalnya, ketika suku bunga mulai dipangkas yang akan berimbas pada penurunan imbal hasil pasar keuangan yang berbasis dolar dan akan mendorong arus modal keluar dari AS dan akan menekan dolar itu sendiri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, DXY menguat setelah keputusan tersebut.

Faktor kunci nya adalah pernyataan ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell yang bernada lebih hawkish dari ekspektasi pelaku pasar. Powell menekankan bahwa meski suku bunga dipangkas, arah kebijakan ke depan masih akan bergantung pada data inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja AS.

Nada hawkish ini ditangkap para pelaku pasar sebagai sinyal bahwa ruang penurunan suku bunga lebih akan terbatas, sehingga mendukung penguatan dolar AS.

Indeks harga konsumen (CPI) Agustus menunjukkan inflasi sebesar 2,9% yoy atau masih di atas target 2%, sementara itu melemahnya tenaga kerja AS terlihat dari penambahan lapangan kerja yang hanya 22 ribu pada Agustus dan adanya revisi penurunan data pertumbuhan penambahan lapangan kerja tahunan sekitar 900 ribu.

Selain itu, komentar pejabat The Fed San Francisco MaryDaly, turut menegaskan bahwa arah kebijakan masih sangat bergantung pada data ekonomi AS. Dengan kata lain, investor tidak bisa memastikan jadwal pemangkasan berikutnya.

Ketidakpastian ini menambah alasan bagi pasar untuk menahan aset dolar, memperkuat posisinya sebagai mata uang dominan global.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |