Jakarta, CNBC Indonesia - Sejarah mencatat, nama Soeharto lekat dengan sebutan Bapak Pembangunan. Julukan itu menggambarkan keberhasilan membangun Indonesia lewat berbagai program ekonomi dan infrastruktur selama dia menjabat sebagai presiden ke-2 RI.
Namun, di balik gelar itu, tersimpan kisah yang tak banyak diketahui. Ternyata sebutan "Bapak Pembangunan" adalah strategi intelijen yang justru dimaksudkan agar Soeharto segera turun dari kekuasaan. Fakta ini diungkap oleh Kepala BAKIN (kini BIN), Yoga Sugomo, dalam autobiografinya Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar (2018).
Dia menulis bahwa pada awal 1980-an, dirinya bersama sahabat sekaligus rekan intelijen yang sudah jadi Menteri Penerangan, Ali Moertopo, menilai Soeharto sudah terlalu lama berkuasa. Saat itu, Soeharto sudah berkuasa selama tiga periode atau sekitar 15 tahun (1968-1983) dan dianggap sudah berhasil membangun Indonesia lewat program pemerataan.
Mereka menilai, sudah waktunya Indonesia dipimpin oleh generasi berikutnya. Alasannya Soeharto kala itu memang sudah menua. Usianya 62 tahun. Yoga dan Ali juga melihat penguasa yang terlalu lama memimpin akan berdampak buruk bagi situasi politik nasional dan demokrasi.
"Bahkan yang lebih mengkhawatirkan adalah bila timbul perasaan dan sikap yang mencampuradukkan masalah pribadi dengan pemerintahan, bahkan negara," ungkap Yoga (Hlm 289).
Dari situlah tercetus operasi super rahasia. Mereka sepakat menciptakan citra "Bapak Pembangunan Nasional" sebagai cara halus memberi pesan bahwa Soeharto sudah mencapai puncak pengabdiannya. Alias waktunya mundur dengan terhormat. Namun tentu saja, operasi ini harus dijalankan dengan sangat hati-hati. Sebab, meminta Soeharto berhenti secara langsung bisa dianggap pembangkangan.
"Cara Jawa memangku Pak Harto itu adalah dengan menggulirkan pemberian gelar "Bapak Pembangunan", sebagai puncak prestasi, pengabdian, dan sekaligus penghargaan rakyat. Tentu saja ini adalah sebuah operasi yang sangat-sangat rahasia dan peka karena menyangkut masalah perasaan yang berkelindan dengan kekuasaan," tulis Yoga dalam autobiografinya (Hlm. 290).
Strategi ini mulai dijalankan pada 1981, tepatnya saat Festival Film Indonesia (FFI). Untuk pertama kalinya, publik melihat spanduk besar bergambar Soeharto dengan tulisan "Bapak Pembangunan Nasional." Tak lama kemudian, media arus utama, seperti Berita Yudha (20 Oktober 1981) juga turut menyebarluaskan gelar itu, sembari menyampaikan suara dari rakyat dan berbagai kelompok agar Soeharto diberi gelar tersebut.
Ali Moertopo sendiri mengklaim gelar Bapak Pembangunan layak diberikan sebab pemerintah Orde Baru sudah menggiatkan pembangunan di pelosok Tanah Air. Ali pun menyebut kondisi RI sudah berbeda dari zaman Orde Lama.
"Indonesia 15 tahun lalu tidak mempunyai apa-apa, adanya hanya kesulitan saja. Tapi, sekarang ini kita bisa menunjukkan masyarakat Indonesia melakukan serangkaian pembangunan dalam era Orde Baru," ungkap Ali Moertopo, dikutip Berita Yudha (20 Oktober 1981).
Namun, rencana Yoga dan Ali justru berbalik arah. Alih-alih menjadi jalan keluar yang elegan, Soeharto memanfaatkan gelar itu untuk memperkuat kekuasaannya karena seakan-akan mendapat dukungan dari akar rumput. Terlebih, menurut Yoga, banyak orang ikut-ikutan memanfaatkan momentum untuk dekat dengan presiden.
"Gagasan yang sifatnya sangat peka dan tertutup ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang mencari muka dan berupaya "Asal Bapak Senang"," jelasnya.
Puncaknya, MPR lewat TAP MPR RI Nomor V/MPR/1983, mengukuhkan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Abidin Kusno dalam Di Balik Pascakolonial: Arsitektur, Ruang Kota dan Budaya Politik di Indonesia (2006), gelar itu kemudian jadi instrumen legitimasi kekuasaan. Sejak saat itu, Soeharto semakin mantap memegang tampuk kekuasaan. Bahkan, hingga 15 tahun ke depan atau tujuh periode, meskipun pada 1998 kekuasaannya berhenti di tengah jalan.
(mfa/mfa)
Next Article Sejarah Beras di RI, Dulu Pernah Ada Beras 'Tekad'

2 hours ago
1

















































