REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG – Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menegaskan akan turun langsung meninjau aktivitas tambang nikel yang diduga merusak ekosistem Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia juga membuka kemungkinan penindakan hukum jika terbukti ada pelanggaran.
“Raja Ampat sedang kami teliti. Mapping sudah kami lakukan. Saya akan ke sana secepatnya,” ujar Menteri LH/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq dalam pernyataan usai peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 di Kabupaten Badung, Bali, Kamis (5/6).
Hanif menambahkan, kementeriannya tidak akan tinggal diam jika tambang nikel terbukti mengancam kelestarian lingkungan. “Atau paling tidak, kami akan segera ambil langkah-langkah hukum terkait aktivitas tambang di Raja Ampat, setelah kajian selesai. Kalau terbukti melanggar, akan kami tindak,” ujarnya.
Pernyataan ini muncul menyusul kritik keras dari masyarakat sipil terhadap ekspansi tambang nikel di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Raja Ampat—kawasan yang dikenal sebagai salah satu surga biodiversitas laut dunia dan ikon pariwisata Indonesia.
“Insya Allah dalam waktu dekat saya akan datang langsung ke Raja Ampat. Saya ingin lihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa masyarakat sampai bersuara keras seperti ini,” tegas Hanif.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan pihaknya akan memanggil pemegang izin tambang nikel di Raja Ampat untuk mengevaluasi aktivitas mereka.
Sementara itu, pemerintah daerah setempat mengaku tidak berdaya. Bupati Raja Ampat Orideko Burdam menuturkan bahwa kewenangan pemberian dan pencabutan izin tambang sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. “Kami di daerah kesulitan melakukan intervensi, padahal kerusakan lingkungan makin nyata,” katanya.
Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu surga biodiversitas laut dunia, terancam oleh ekspansi industri tambang nikel. Data dari Greenpeace menunjukkan pembabatan lebih dari 500 hektare hutan di tiga pulau kecil, yaitu Gag, Kawe, dan Manuran, yang semuanya seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Laporan Greenpeace juga mendokumentasikan sedimentasi di pesisir akibat limpasan tanah dari aktivitas tambang, yang berpotensi merusak terumbu karang dan kehidupan laut Raja Ampat.
Selain tiga pulau tersebut, tambang juga mengancam Pulau Batang Pele dan Manyaifun, yang berjarak hanya sekitar 30 kilometer dari kawasan Piaynemo yang ikonik.
“Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele,” ujar Ronisel Mambrasar, anggota Aliansi Jaga Alam Raja Ampat dikutip dari laman Greenpeace.
“Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang selama ini menghidupi kami, tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik.”
sumber : Antara