Target Pertumbuhan Ekonomi 8% dan Penurunan Pengangguran Sarjana

2 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia menatap target besar: pertumbuhan ekonomi 8% sebagai jalan menuju negara maju. Energi, hilirisasi, dan infrastruktur digadang-gadang sebagai mesin utama.

Namun ada realitas yang tidak bisa diabaikan, yaitu lebih dari satu juta sarjana menganggur. Tanpa solusi serius, pertumbuhan tinggi hanya jadi angka, sementara bonus demografi berbalik menjadi beban.

Data BPS Februari 2025 menunjukkan pengangguran terbuka mencapai 7,28 juta orang. Dari jumlah itu, 1,01 juta adalah lulusan perguruan tinggi.

Angka ini naik hampir lima belas persen dibanding tahun lalu. Padahal setiap tahun ada tambahan 1,6 juta lulusan baru hingga 1,7 juta lulusan baru. Artinya, jika tidak ada koreksi, tumpukan pengangguran sarjana akan terus membesar.

Pertumbuhan ekonomi memang menciptakan lapangan kerja, tetapi tidak otomatis menyerap sarjana. Teori elastisitas tenaga kerja menunjukkan di Indonesia setiap satu persen pertumbuhan PDB hanya menambah 0,3% hingga 0,5% pekerjaan.

Dengan pertumbuhan lima persen, pekerjaan baru yang tercipta hanya 2,9 juta sampai 3,6 juta. Jika ekonomi tumbuh delapan persen, jumlah itu bisa 5 juta sampai 6 juta.

Namun distribusi pekerjaan menjadi masalah utama. Hanya sekitar dua puluh persen lowongan yang benar-benar mensyaratkan sarjana. Itu berarti serapan S1 per tahun hanya 600 ribu orang sampai 900 ribu orang, jauh di bawah jumlah lulusan baru.

Untuk menurunkan pengangguran sarjana dari hampir 14% ke delapan persen pada tahun 2030, porsi lowongan bagi lulusan perguruan tinggi harus naik setidaknya ke 25% sampai 30%.

Karena itu peran Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Diktisaintek sangat krusial. Menaker harus mengelola sisi permintaan melalui insentif fiskal, wage subsidy, dan kuota perekrutan sarjana di proyek strategis.

Mendiktisaintek perlu mengelola sisi pasokan dengan memperbesar intake kampus di bidang teknik dan teknologi, dari 12% menjadi 25% dalam lima tahun.

Namun menambah jumlah mahasiswa teknik saja tidak cukup. Kurikulum juga harus fleksibel. Pasar tenaga kerja bergerak cepat, dari energi terbarukan, kecerdasan buatan, hingga logistik digital. Kurikulum kaku membuat lulusan cepat usang.

Sistem modular dengan micro-credential dan sertifikasi industri memungkinkan mahasiswa mengambil keterampilan lintas bidang sesuai kebutuhan industri. Dengan cara ini, elastisitas serapan tenaga kerja sarjana bisa meningkat.

Psikologi ekonomi Kahneman memberi perspektif tambahan. Mahasiswa cenderung memilih jurusan populer karena bias persepsi, bukan kebutuhan pasar.

Perusahaan enggan merekrut fresh graduate karena bias risiko. Tanpa intervensi, pola pikir ini tidak berubah. Negara harus hadir dengan kurikulum yang lentur, magang terstruktur, dan mekanisme bridging untuk mengubah lulusan non-teknik menjadi tenaga siap industri.

Presiden harus memahami bahwa pertumbuhan ekonomi 8% tidak akan bermakna tanpa pekerjaan berkualitas bagi sarjana. Target pertumbuhan hanya bisa tercapai bila pengangguran sarjana turun signifikan.

Dengan mandat jelas bagi Menaker dan Mendiktisaintek, serta reformasi kurikulum yang lebih bebas, Indonesia dapat menjadikan bonus demografi sebagai kekuatan. Pertumbuhan ekonomi tinggi baru akan berarti jika membuka jalan bagi generasi muda untuk bekerja, berproduksi, dan bersaing di panggung global


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |