Oleh Wiguna Yuniarsih*)
Dalam kehidupan, setiap insan pasti mengalami ujian dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ujian itu bisa datang dengan sendirinya, seperti kecelakaan yang menyebabkan sakit bahkan meninggal dunia. Bisa juga ujian yang memang telah disiapkan sebelumnya, seperti ujian masuk sekolah, ujian kelulusan sekolah, ujian masuk kerja, ujian kenaikan pangkat/karier, dan sebagainya.
Perbedaan antar-setiap ujian atau tes terletak pada ruang lingkup dan tujuan penggunaannya. Dalam proses belajar mengajar, sistem penilaian diperlukan untuk meningkatkan kualitas proses, hasil, dan prestasi akademik. Pada akhirnya, ini menjadi sebagai bagian dari upaya meningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Salah satu teknik penilaian yang sering digunakan lembaga pendidikan adalah tes. Menurut Suryabrata (1987), tes adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan atau perintah-perintah yang harus dijalankan.
Orang yang diuji mesti menjawab pertanyaan atau melakukan perintah-perintah yang ada. Adapun penyelidik mengambil kesimpulan dengan cara membandingkan dengan standar atau peserta (testee) lainnya.
Tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2008). Adapun menurut Chaplin (2005), tes adalah satu perangkat pertanyaan yang sudah dibakukan, yang dikenakan pada seseorang dengan tujuan mengukur perolehan atau bakatnya dalam suatu bidang tertentu.
Tes pada umumnya dimaksudkan untuk mengukur aspek-aspek perilaku manusia, baik kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya.
Bidang kognitif diukur melalui uji tes, sedangkan afektif diukur melalui kuesioner, wawancara, dan pengamatan. Adapun bidang psikomotor diukur melalui perbuatan dan pengamatan (Naga, 1992).
Dengan demikian, tanpa adanya tes, penyelenggara pendidikan akan sulit mengukur dan mengetahui secara objektif kemampuan dan keterampilan peserta didiknya. Bila tes tidak dilakukan, prestasi dan kelulusan pun akan sulit pula ditentukan.
Fungsi tes belajar
Ebel (1991) menjelaskan fungsi tes prestasi belajar, yakni (1) mengukur keberhasilan siswa dalam belajar, (2) membantu guru dan instruktur dalam membuat nilai yang akurat dan bermakna, serta (3) memotivasi dan mengarahkan siswa dalam belajar.
Peserta didik akan cenderung belajar lebih giat apabila akan mengikuti tes. Mereka belajar lebih serius pada mata pelajaran yang akan diujikan pada saat berlangsungnya tes.
Agar fungsi tes dapat terpenuhi, ia pun mesti memenuhi syarat dan ketentuan. Suryabrata (2006) mengemukakan syarat-syarat tes yang baik.
Pertama, tes harus valid. Artinya, tes tersebut hanya mengukur satu aspek atau satu domain sehingga tepat mengukur apa yang hendak diukur.
Kedua, tes harus reliabel, yakni ajek atau konsisten.
Ketiga, tes harus standar. Artinya, setiap peserta (testee) harus mendapat perlakuan yang sama, baik mengenai materi, penyelenggaraan, pemberian skor, maupun interpretasi hasil tes. Alhasil, seorang testee yang mendapat skor tertentu di suatu tempat akan mendapat skor yang sama di tempat lain.
Keempat, tes harus objektif. Penilaian yang dilakukan oleh pemberi tes (tester) yang satu dengan yang lain akan sama untuk satu testee.
Kelima, tes harus bersifat diskriminatif. Artinya, tes harus dapat mengungkapkan perbedaan suatu gejala yang terdapat pada setiap diri individu.
Tes Kemampuan Akademik
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) RI Nomor Nomor 9 tahun 2025, dijelaskan bahwa Tes Kemampuan Akademik (TKA) adalah kegiatan pengukuran capaian akademik murid pada mata pelajaran tertentu. Ini diselenggarakan dengan prinsip kejujuran, kerahasiaan dan akuntabilitas.
Beleid itu juga mengemukakan tujuan-tujuan TKA. Pertama, memperoleh informasi capaian akademik murid yang terstandar untuk keperluan seleksi akademik. Kedua, menjamin pemenuhan akses murid pendidikan nonformal dan pendidikan informal terhadap penyetaraan hasil belajar.
Ketiga, mendorong peningkatan kapasitas pendidik dalam mengembangkan penilaian yang berkualitas. Keempat, memberikan bahan acuan pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan.
Adapun mata uji TKA untuk SD/MI/program paket A/sederajat dan SMP/MTs/program paket B/sederajat terdiri atas bahasa Indonesia dan matematika. Sementara itu, mata uji TKA untuk SMA/MA/program paket C/sederajat dan SMK/MAK terdiri atas bahasa Indonesia, matematika, bahasa Inggris, dan mata pelajaran pilihan.
Hasil TKA disampaikan dalam bentuk nilai dan kategori capaian TKA yang diberikan dalam bentuk sertifikat dan dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. Hasil ini di semua jenjang pendidikan dapat menjadi salah satu syarat dalam seleksi penerimaan murid baru ke jejang berikutnya melalui jalur prestasi. Ini pun bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru.
Hasil TKA digunakan untuk menyetarakan hasil pendidikan nonformal dan pendidikan informal dengan hasil pendidikan formal. Bagi pemerintah, hasil TKA dapat digunakan sebagai acuan pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan sesuai kewenangannya.
Berdasarkan uraian tersebut, TKA dapat diikuti oleh murid dari berbagai jalur pendidikan formal, nonformal, serta informal. Peserta akan memperoleh nilai dan kategori capaian yang ditetapkan secara nasional, dan bagi peserta dari jalur formal maupun nonformal, hasil ini akan disertai dengan sertifikat resmi.
TKA menjamin hak setiap murid untuk menunjukkan prestasinya tanpa diskriminasi dan sebagai bagian dari strategi nasional untuk menjamin mutu pendidikan yang adil, terstandar, dan inklusif.
Pada tahun 2025, TKA baru akan dilaksanakan bagi siswa kelas XII SMA dan kelas akhir SMK. Adapun untuk jenjang SD dan SMP, TKA dimulai pada tahun 2026.
Hasil TKA akan menjadi referensi dalam seleksi akademik lainnya dan menjadi alat kendali mutu pendidikan oleh Kemendikdasmen dan Kementerian Agama (Kemenag) RI sebagai penyelenggara pendidikan di bidang agama. Pemerintah daerah pun menggunakan hasil TKA ni.
Kita berharap, semoga kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam reformasi sistem penilaian pendidikan nasional. Harapannya, TKA tidak hanya menjamin kualitas, tetapi juga membuka ruang kesetaraan akses pendidikan bagi seluruh peserta didik di Indonesia.
*) Wiguna Yuniarsih adalah Wakil Kepala SMK Muhammadiyah 1 Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.