Tingginya Angka PHK dan Jalan Berliku Aturan Diskriminasi Usia Pekerja

1 day ago 4

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Laporan pada laman Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan terdapat 42.385 pekerja menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari-Juni 2025. Jumlah tersebut naik drastis sebesar 32,19 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni sebesar 32.064 pekerja.

Hal itu merupakan efek domino dari penurunan pasar hingga perubahan strategi bisnis pada perusahaan. Dari data tersebut, terdapat tiga lini bidang usaha yang paling terdampak, yakni: pengolahan, perdagangan, dan pertambangan.

Kondisi ini tentu akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah. Utamanya bagaimana supaya tenaga kerja yang menjadi korban PHK tersebut nantinya bisa tetap mendapatkan kerja secara layak, khususnya bagi mereka yang berada di rentang usia di atas 30 tahun.

Strategi Pemerintah
Pada tanggal 28 Mei 2025, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) bernomor M/6/HK.04/V/2025 mengenai Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja.

Beberapa poin yang amat penting dalam SE tersebut adalah larangan bagi perusahaan untuk menetapkan kriteria rekrutmen yang bersifat diskriminatif. Diskriminatif di sini diantaranya: syarat usia, penampilan fisik, status pernikahan, tinggi badan, warna kulit, latar belakang suku, serta aspek lain yang tidak berkaitan langsung dengan kompetensi kerja.

Hal tersebut merupakan salah satu bentuk aturan progresif yang dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan. Sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam tulisan di Kompas 28 Mei 2025 sebelumnya yang berjudul, 'Surat Edaran Menaker soal Larangan Tahan Ijazah: Langkah Strategis atau Populis?' hal ini merupakan terobosan progresif yang dilakukan oleh pemerintah di sektor ketenagakerjaan, utamanya di bidang hukum ketenagakerjaan/perburuhan.

Adanya hukum yang mengatur mengenai ketenagakerjaan (dalam beberapa literatur diistilahkan sebagai hukum perburuhan) berfungsi sebagai seperangkat kaedah yang bersifat memaksa (dilakukan oleh negara) agar tidak menjadikan posisi yang lebih superior bertindak sewenang-wenang terhadap pihak yang lebih inferior.

Pernyataan tersebut didasari pada realitas posisi tenaga kerja sebagai pihak inferior dibandingkan pemberi kerja. Mengapa begitu? Konsep ini tidak terlepas dari konsep dasar adanya hubungan kerja sendiri yang terdiri atas unsur: (i) adanya hal yang dikerjakan, (ii) adanya perintah dari pemberi kerja ke pekerja, (iii) adanya upah dari pekerja ke pemberi kerja.

Kesemua unsur tersebut menjadikan posisi pemberi kerja menjadi lebih superior dibandingkan pekerja baik dalam fase pra-hubungan kerja (perekrutan), saat hubungan kerja, dan pasca hubungan kerja.

Oleh karenanya, SE ini patut kita dukung karena menunjukkan kehadiran negara untuk mendorong pihak yang superior (pengusaha/pemberi kerja), untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap pihak yang lebih inferior (pekerja) dalam tahap perekrutan tenaga kerja. Serta lebih jauh, aturan ini sebagai tonggak aturan anti-agiesme di Indonesia, khususnya di lapangan ketenagakerjaan.

Ageisme merupakan steriotipe, prasangka, dan diskriminasi terhadap individu dan kelompok yang didasari pada usia mereka. Ageisme ditunjukkan dengan adanya tindakan yang tidak adil baik ditujukan pada usia muda maupun usia tua sehingga berakibat terjadinya pelanggaran hak terhadap korban ageisme. Jadi, aturan anti-agiesme diharapkan dapat mendorong situasi anti-diskriminasi dalam dunia kerja.

Jalan Panjang Nan Berliku
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sejatinya sudah mengatur mengenai anti-diskriminasi dalam dunia kerja. Dalam pasal 5 UU ini diatur bahwa "Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan".

Kemudian, dalam bagian penjelasan umum pasal ini dijelaskan bahwa, "Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat".

Apa yang disebut diskriminasi menurut UU Ketenagakerjaan mengambil definisi yang sama seperti diskriminasi menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Menurut UU HAM, ruang lingkup diskriminasi sendiri meliputi: agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. Sehingga anti-ageisme tidak dimasukan ke dalam salah satu bentuk diskriminasi menurut UU Ketenagakerjaan.

Sejatinya, beberapa upaya konstitusional untuk menafsirkan ulang ketentuan dari pasal 5 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tersebut bukan tidak pernah dilakukan. Terbaru, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pertimbangan putusan 124/PUU-XXII/2024 pernah menyatakan bahwa adanya persyaratan usia dalam proses rekrutmen tenaga kerja harus didasarkan secara relevan dan proporsional.

Dalam putusan ini, meskipun pada amar putusannya menyatakan menolak permohonan yang diajukan, MK memberikan landasan sekaligus pesan bahwa fenomena adanya penetapan batas usia kerja perlu menjadi perhatian bersama. Meskipun menurut MK ketentuan pembatasan usia kerja merupakan hal yang konstitusional, MK berpandangan bahwa perlu ada aturan yang jelas yang mengatur mengenai ketentuan batas usia kerja.

Hal tersebut didasari bahwa penetapan batas usia kerja merupakan sebuah kebutuhan dari perusahaan/pemberi kerja yang berbeda-beda antara satu jenis pekerjaan dengan jenis pekerjaan lainnya. Sehingga, apabila peraturan terlalu ketat untuk mengatur batas usia kerja ataupun menghilangkan aturan batas usia kerja tentu akan mengakibatkan inefesiensi bagi perusahaan/pemberi kerja.

Dari sini dapat terlihat bagaimana terdapat dua kutub yang sejatinya saling berkelindan perihal pengaturan mengenai anti-ageisme di dunia kerja. Kedua kutub tersebut ialah antara kebutuhan dan rentannya terjadi diskriminasi.

Kebutuhan perusahaan merupakan aspek privat yang bersumberkan dari internal perusahaan/pemberi kerja, sementara adanya kerentanan diskriminasi merupakan aspek publik dan merupakan urusan negara untuk mencegah pelanggaran ham. Di sini letak negara untuk mengakomodasi kedua kebutuhan dan aspek tersebut.

Tugas negara bukan berhenti sebagai regulator yang menciptakan aturan, tetapi lebih jauh dari itu. Negara melalui aparatur dan kewenangan yang dapat dimilikinya perlu untuk melakukan pengawasan di bidang ketenagakerjaan.

Artinya, langkah progresif untuk mengeluarkan SE anti diskriminasi dalam perekrutan tenaga kerja perlu pula diiringi dengan adanya sistem pengawasan yang sinergis dengan melibatkan segala stake holder dan bila perlu aparat penegak hukum.

Di sini, aturan berupa Surat Edaran sebenarnya tidak cukup untuk menterjemahkan hal tersebut. Oleh karenanya, perlu ada instrumen yang lebih kuat untuk mengatur hal ini yang mengakomodasi secara keseluruhan SE tentang larangan diskriminasi dalam proses rekrutmen tenaga kerja dan juga putusan MK 124/PUU-XII/2024.

Ujian berat bagi pemerintah terkhusus di sektor ketenagakerjaan dalam rangka mengatasi permasalahan pengangguran di tengah situasi saat ini. Pemerintah ditantang untuk bagaimana tetap berusaha untuk mencegah rakyatnya menjadi pengangguran di tengah lesunya pasar dan kondisi politik yang tidak menentu.

Tentu keberpihakan negara, salah satunya Kemenaker menjadi amat sangat diperlukan dalam kondisi saat ini. Adanya SE Anti diskriminasi saat rekrutmen kerja menunjukkan adanya keberpihakan negara, tetapi itu sangat amat tidak cukup.

Semoga tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya di bidang ketenagakerjaan jangan sampai menjadi tindakan yang populis semata. Tindakan tersebut harus benar-benar menjadi solusi yang dapat dieksekusi (do-able) baik secara kekuatan hukum dan instrumen lainnya oleh semua pihak, tanpa terkecuali bagi pemerintah di daerah dan perusahaan/pemberi kerja.

Sebagai rakyat kita berhak mengajukan pertanyaan reflektif yakni apakah kita mampu berharap adanya perbaikan tata kelola pengaturan ketenagakerjaan di Indonesia di tengah sengkarut kondisi perekonomian yang diikuti dengan terjadinya PHK secara masal dan sulitnya mendapatkan pekerjaan?


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |