138 Juta Anak Dipaksa Kerja di Tambang dan Ladang demi Bertahan Hidup

1 day ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK — Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan UNICEF melaporkan masih ada hampir 138 juta anak yang bekerja di seluruh dunia pada 2024. Dari jumlah itu, sekitar 54 juta anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya yang mengancam kesehatan, keselamatan, atau perkembangan mereka.

Meski jumlahnya turun 20 juta sejak 2020, dunia dinilai gagal memenuhi target menghapus pekerja anak pada 2025. Laporan bertajuk Pekerja Anak: Estimasi Global 2024, Tren dan Jalan ke Depan ini dirilis sehari sebelum Hari Dunia Menolak Pekerja Anak dan Hari Bermain Internasional.

“Temuan laporan kami memberi harapan dan menunjukkan kemajuan mungkin terjadi. Anak-anak seharusnya berada di sekolah, bukan bekerja,” kata Direktur Jenderal ILO, Gilbert F. Houngbo, Rabu (11/6/2025).

Ia menekankan pentingnya pekerjaan layak bagi orang tua agar anak-anak tidak perlu turun ke pasar atau ladang demi bertahan hidup.

Laporan mencatat sektor pertanian masih menjadi penyerap terbesar pekerja anak, yakni 61 persen dari seluruh kasus. Disusul sektor jasa (27 persen), seperti pekerjaan rumah tangga dan penjualan barang, serta sektor industri (13 persen), termasuk tambang dan manufaktur.

Wilayah Asia dan Pasifik mencatat kemajuan signifikan. Angka pekerja anak di kawasan itu turun dari 49 juta menjadi 28 juta, atau dari 6 persen menjadi 3 persen. Penurunan juga tercatat di Amerika Latin dan Karibia, dari 8 juta menjadi 7 juta anak. Namun, Sub-Sahara Afrika masih menyumbang dua pertiga kasus pekerja anak secara global, sekitar 87 juta anak. Prevalensinya hanya turun tipis dari 24 menjadi 22 persen.

“Masih terlalu banyak anak yang harus bekerja di tambang, pabrik, atau ladang dalam kondisi berbahaya demi bertahan hidup,” kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell.

Ia menyebut penghapusan pekerja anak hanya bisa tercapai dengan perluasan perlindungan sosial, akses pendidikan gratis dan berkualitas, serta pekerjaan layak bagi orang dewasa.

Russell memperingatkan tren pemotongan dana bantuan global yang kini marak dapat menggagalkan capaian yang sudah ada. “Kita harus kembali berkomitmen untuk memastikan anak-anak berada di ruang kelas dan taman bermain, bukan di tempat kerja,” ujarnya.

ILO dan UNICEF menekankan pentingnya pendanaan berkelanjutan, baik domestik maupun internasional, untuk mencegah keluarga rentan terpaksa mengirim anak bekerja. Minimnya investasi dalam pendidikan dan perlindungan sosial disebut memperbesar risiko pekerja anak, terutama di tengah konflik, kemiskinan ekstrem, dan populasi yang terus bertambah.

Pekerja anak juga menghambat akses pendidikan, mengancam hak serta masa depan anak, dan memperparah siklus kemiskinan lintas generasi. Anak laki-laki dilaporkan lebih sering terlibat dalam pekerjaan anak dibanding perempuan. Namun, jika pekerjaan rumah tangga tak dibayar selama lebih dari 21 jam per minggu dihitung, kesenjangan ini justru berbalik.

Sejak 2000, jumlah pekerja anak global telah turun hampir separuh dari 246 juta menjadi 138 juta. Namun, laju penurunan saat ini dinilai terlalu lambat. Untuk mencapai target penghapusan pekerja anak pada 2030, laju kemajuan harus meningkat 11 kali lipat.

UNICEF dan ILO menyerukan peningkatan investasi pada jaminan sosial, termasuk tunjangan anak universal, serta penguatan sistem perlindungan anak. Keduanya juga mendesak negara-negara menyediakan akses pendidikan berkualitas, terutama di daerah pedesaan dan wilayah krisis, serta memastikan pekerjaan layak bagi orang dewasa.

Selain itu, kedua lembaga meminta penegakan hukum dan akuntabilitas dunia usaha untuk menghentikan eksploitasi anak dalam rantai pasok global.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |