ANALISIS
Muhammad Ikhwanuddin | CNN Indonesia
Minggu, 12 Okt 2025 20:30 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Kegagalan Timnas Indonesia menuju Piala Dunia 2026 dikait-kaitkan dengan cerita miris saat Jepang nyaris lolos ke Piala Dunia 1994. 'Doha no higeki' atau 'Agony of Doha' yang dialami Samurai Biru 32 tahun lalu adalah representasi keadaan skuad Garuda saat ini.
Saat itu, Jepang berjuang mewujudkan mimpi lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya. Setelah gagal terus-menerus, negeri Matahari Terbit mampu melangkah jauh di Kualifikasi Piala Dunia 1994 zona Asia.
Babak akhir kualifikasi mempertemukan Jepang lawan Irak pada laga penentuan di Stadion Al Ahli (sekarang jadi Stadion Hamad bin Khalifa). Hajime Moriyasu yang masih jadi pemain di skuad Jepang kala itu, butuh kemenangan sebagai garansi lolos ke Piala Dunia 1994.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jepang membuka keran gol lebih dulu lewat gol Kazuyoshi Miura atau 'King Kazu' saat laga baru berjalan lima menit. Meski Irak mencetak gol balasan di menit ke-54, Jepang kembali unggul berkat Masashi Nakayama di menit ke-69.
Piala Dunia 1994 sudah di depan mata ketika Jepang unggul 2-1. Pasukan yang dipimpin Hans Ooft, pelatih asal Belanda itu sudah siap merayakan hari bersejarah.
Tapi gol tandukan Jaffar Omran di injury time mengubur segalanya. Sontak para pemain Jepang rubuh seada-adanya melihat kenyataan di depan mata mereka. Ternyata bukan sejarah manis yang mereka goreskan hari itu, Kamis, 28 Oktober 1993.
Hasil imbang membuat Jepang gagal ke Piala Dunia 1994 hanya karena kalah selisih gol dari Korea Selatan di klasemen akhir. Padahal, perolehan poin mereka sama. Kubu Negeri Ginseng yang berhak melaju ke pesta bola dunia.
Jepang yang diperkuat pemain naturalisasi dari Brasil, Guy Ramos, ternyata harus rela menelan pil pahit. Hajime Moriyasu bahkan tak pernah tahu rasanya menapak Piala Dunia sebelum jadi pelatih.
"Saya sudah mengabdikan diri untuk impian Piala Dunia. Kami begitu banyak menjalani pemusatan latihan sehingga lebih banyak menghabiskan waktu dengan rekan satu tim daripada keluarga saya. Saya sudah bisa melihat Piala Dunia ada di depan mata, tetapi kemudian lenyap begitu saja," kata Hajime Moriyasu dikutip dari situs FIFA.
Warga Jepang melabeli kegagalan dengan istilah 'Doha no higeki'. Belakangan media berbahasa Inggris menerjemahkannya jadi 'Agony of Doha' atau penderitaan di Doha.
Banyak persamaan momen 'Agony of Doha' dengan yang dialami Timnas Indonesia. Dari diperkuat pemain naturalisasi, dipimpin pelatih Belanda, lawan Irak, dan terjadi di bulan Oktober.
Namun peristiwa itu justru jadi titik balik Jepang dalam mewujudkan mimpi ke Piala Dunia. Mereka habis-habisan memperbaiki kompetisi domestik, merancang kompetisi profesional berjenjang, dan menyusun program J.League 100 Year Plan sebagai stimulan klub amatir agar punya visi sebagai tim profesional.
Setelah musim pertama J.League bergulir pada 1993, jumlah klub meningkat pesat dari 10 hingga 18 dalam kurun lima tahun. Liga yang kompetitif melahirkan deretan pemain bintang, termasuk mengorbitnya Hidetoshi Nakata sebagai pemain abroad di Italia.
Hasilnya? Jepang lolos Piala Dunia untuk pertama kalinya pada 1998. Melihat Jepang, apakah Indonesia mau dan bisa belajar dari kegagalan?