Muliadi Saleh
Teknologi | 2025-06-03 08:48:08

Oleh: Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan
"Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban"
Saatnya menyapa entitas baru yang tak bernapas, tak punya detak jantung, tapi pandai merangkai kata: kecerdasan buatan, AI.
Kita hidup di zaman yang tak lagi hanya mengenal pena dan tinta. Kini, kata-kata tumbuh dari sirkuit, dari algoritma yang dilatih oleh lautan teks, dari mesin yang tak pernah lelah bekerja. Ia bukan manusia, tapi ia telah belajar bahasa manusia—belajar menulis, menyusun puisi, menjawab pertanyaan, bahkan mencipta paragraf-paragraf yang membuat kita terpana.
Apakah ini ancaman atau peluang? Apakah manusia akan kehilangan keistimewaannya dalam menulis, atau justru menemukan sekutu baru dalam perjalanannya menyampaikan rasa?
Dalam simfoni peradaban yang terus berubah nadanya, AI hadir bukan sebagai kompetitor, tetapi sebagai kolaborator. Bukan sebagai perampas kerja kreatif, tapi sebagai pelengkap imajinasi. Bukan untuk menggantikan rasa, melainkan untuk menghidupkan ide-ide yang sempat tertidur. AI, jika dipahami dengan bijak, bukanlah musuh. Ia adalah sahabat.
Menyulam Kata Bersama AI
AI adalah hasil dari kecanggihan manusia dalam meniru cara berpikirnya sendiri. Namun ia tidak memiliki rasa, tidak punya sejarah luka, tidak mengenal senyum yang tulus atau air mata yang hening. Di sinilah manusia tetap unggul. Di sanalah letak keunikan manusia: rasa.
Ketika manusia menulis, ia membawa serta kenangan masa kecil, aroma pagi di desa, suara azan dari surau tua, bahkan sunyi yang tak mampu dijelaskan dengan kalimat biasa. Ketika AI menulis, ia hanya meminjam kata dari miliaran tulisan yang ia pelajari. Tapi saat dua kekuatan ini bersatu, akan lahir tulisan yang lebih bernas, yang tak hanya informatif, tapi juga menyentuh.
Pembagian Tugas dalam Era Kolaborasi
AI hebat dalam menyaring data, mengatur struktur tulisan, mempercepat riset, bahkan memeriksa tata bahasa. Tapi manusialah yang menentukan arah dan makna. Manusialah yang meniupkan ruh ke dalam setiap kalimat.
Seorang pakar AI dari MIT, Max Tegmark, menyebut AI sebagai "amplifier of intelligence"—penguat kecerdasan, bukan pengganti. AI bisa menyarikan ribuan artikel dalam sekejap, tetapi ia tak tahu mana yang paling menyentuh hati pembaca. Itulah peran kita, manusia: sebagai penyair, penggubah, penentu makna.
Profesor Toby Walsh, peneliti AI dari UNSW Sydney, menegaskan bahwa "kreativitas adalah wilayah terakhir manusia." Meskipun AI dapat membuat puisi atau lukisan, itu bukan hasil pengalaman batin. Mesin tidak jatuh cinta. Mesin tidak patah hati. Mesin tidak merindukan kampung halaman.
Statistik dan Fakta Terkini
Menurut laporan McKinsey Global Institute (2024), lebih dari 70% profesional di bidang kreatif menggunakan alat bantu AI untuk mempercepat kerja mereka, bukan untuk menggantikan peran manusia. Di bidang jurnalistik, The Washington Post telah menggunakan AI bernama Heliograf sejak 2016 untuk menulis laporan-laporan pendek. Namun, tulisan panjang, investigasi, dan esai reflektif tetap dikerjakan oleh jurnalis manusia.
Di Indonesia, penggunaan AI dalam dunia pendidikan dan jurnalistik juga mulai meluas. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat peningkatan penggunaan AI untuk pembelajaran daring dan penulisan akademik sejak pandemi. Namun, para dosen dan guru tetap menekankan pentingnya "keaslian rasa" dalam tugas-tugas naratif dan kreatif.
Apa yang Tak Dimiliki AI
AI tidak mengenal Tuhan. Ia tidak bisa berdoa. Ia tak mampu menafsirkan isyarat langit atau menghayati makna kesabaran dalam menunggu hujan. Ia tak memahami arti memaafkan atau keindahan air mata yang jatuh dalam sujud malam. Ia bisa meniru, tapi tak bisa menghayati.
AI tidak punya nurani, tidak punya nilai-nilai, dan tidak bisa mengambil keputusan moral. Ia bekerja berdasarkan data, bukan hati. Maka dari itu, dalam ranah-ranah penting seperti jurnalisme etis, penulisan agama, tafsir budaya, dan pendidikan karakter, manusia tetap menjadi nahkoda.
Memanusiakan AI atau Meng-AI-kan Manusia?
Ini pertanyaan besar dalam filsafat teknologi masa kini. Ketika AI semakin mirip manusia, dan manusia semakin tergantung pada AI, kita perlu menjaga agar kemanusiaan tetap menjadi pusat. Jangan sampai kita menyerahkan seluruh proses berpikir pada mesin, dan melupakan keunikan kita sebagai makhluk yang berpikir dan merasa.
Sebagaimana kata Yuval Noah Harari, "AI bisa menulis buku, tapi hanya manusia yang bisa mengubah hidup seseorang lewat buku itu."
Menulis sebagai Meditasi dan Kolaborasi
Menulis bersama AI adalah seperti berdialog dengan cermin yang tak punya wajah. Kita memantulkan gagasan, lalu merefleksikan kembali dengan rasa. Dalam dunia akademik, ini mempercepat analisis. Dalam dunia jurnalistik, ini mengefisienkan proses produksi. Dalam dunia sastra, ini membuka kemungkinan-kemungkinan baru.
Namun, jangan biarkan AI menulis seluruhnya untuk kita. Gunakanlah ia sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti hati. Kombinasikan kecepatan logika mesin dengan kedalaman rasa manusia. Di sanalah simfoni peradaban ditulis bersama.
Refleksi untuk Masa Depan
Kita tak bisa kembali ke zaman tanpa AI, sebagaimana kita tak bisa kembali ke zaman tanpa listrik. Maka, yang perlu kita lakukan adalah memahami, memandu, dan menyatu dengan teknologi ini tanpa kehilangan jati diri.
Mari bersahabat dengan AI, tapi tetap menggenggam pena rasa. Mari berkawan dengan mesin, tapi tetap merawat nurani. Mari menulis bersama, karena dunia ini terlalu luas untuk ditulis sendirian.
Seperti kata Jalaluddin Rumi: "Jangan menjauh dari rasa hanya karena logika terlihat lebih cepat. Karena yang membuat puisi tak mati, adalah hati."
Dan kini, puisi zaman baru itu sedang ditulis. Oleh kita. Bersama AI.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.