Alasan Mengejutkan Gelar Haji Disematkan di Nama Orang RI

5 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Penyematan gelar 'Haji' atau 'Hajjah' di depan nama seseorang usai menunaikan ibadah haji rupanya memiliki akar historis, kultural hingga keagamaan yang panjang dan kompleks.

Dilansir dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), Filolog sekaligus Staf Ahli Menteri Agama Oman Fathurahman mengungkapkan tradisi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah perjalanan haji yang berat bagi masyarakat Nusantara pada masa lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Oman menganggap penyematan Gelar tersebut sah-sah saja, melihat perjuangan untuk menuju Tanah Suci tidak mudah. Apalagi, mereka harus mengarungi lautan hingga gurun pasir yang memakan waktu sangat lama.

Atas dasar itu, seseorang yang berhasil menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air dengan selamat dianggap telah melewati ujian besar.

Sebab, perjalanan tersebut bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan juga sebuah pencapaian spiritual dan fisik yang membawa kehormatan tersendiri.

Dari situ masyarakat mulai menambahkan gelar 'Haji' atau 'Hajjah' di depan nama mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap pencapaian ibadah tersebut.

[Gambas:Video CNN]

Tradisi tersebut kemudian berkembang luas dan menjadi bagian dari budaya Muslim Indonesia.

Namun, Oman mengingatkan gelar tersebut jangan sampai dijadikan simbol kesombongan atau kebanggaan. Sebab, yang terpenting adalah bagaimana seseorang menjaga keikhlasan dan akhlaknya pasca menunaikan ibadah tersebut.

"Salah satu ciri haji mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin (berbuat baik) sepanjang masa, selalu menebar kedamaian, baik ketika maupun usai menunaikan ibadah haji," ucap Oman.

Di sisi lain, antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi menyebut fenomena ini bukan hanya khas Indonesia.

Kata dia, berbagai wilayah Melayu Islam seperti Malaysia, Singapura, Brunei, hingga Thailand Selatan, kebiasaan serupa juga ditemui.

"Tradisi di Mesir Utara bahkan bukan hanya memberi gelar haji, tapi juga melukis rumahnya dengan gambar Ka'bah dan moda transportasi yang digunakan ke Mekkah," ujarnya.

Disampaikan Dadi, penyematan gelar haji ini dapat dipahami dari tiga sudut pandang: keagamaan, kultural, dan kolonial.

Secara keagamaan, haji merupakan rukun Islam yang kelima, dan pelaksanaannya membutuhkan biaya, waktu, serta syarat-syarat yang tidak mudah. Karenanya, bagi sebagian masyarakat, keberhasilan menunaikan ibadah haji merupakan kebanggaan tersendiri.

"Untuk itu lah gelar Haji dianggap layak dan terus disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya," kata Dadi.

Sementara secara kultural, cerita-cerita heroik, emosional, dan kadang dramatis tentang perjalanan haji turut membentuk persepsi kultural yang memperkuat pentingnya ibadah ini dalam masyarakat.

Banyak tokoh masyarakat yang menyandang gelar haji, menjadikan gelar ini sebagai simbol status sosial.

"Hal-hal ini lah saya kira yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi," tutur dia.

Kemudian, dalam perspektif masa kolonial, pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu takut ibadah haji akan memengaruhi para jamaah haji dalam semangat gerakan anti-penjajahan.

Alhasil, kolonial Hindia lantas membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada 1872 untuk mengawasi pergerakan para jamaah dan mewajibkan para jamaah memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dipantau.

Namun, kata Dadi, asumsi tersebut ditentang oleh Snouck Hurgronje yang menurutnya jemaah haji saat itu tak layak ditakuti sebagai ancaman politik.

"Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah," tandasnya.

(chri)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |