Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan adanya peningkatan kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kepala BGN Dadan Hindayana menyampaikan, jumlah kejadian gangguan pencernaan naik tajam dalam dua bulan terakhir.
"Dari 6 Januari sampai 31 Juli, tercatat ada 24 kasus. Namun sejak 1 Agustus sampai 30 September, jumlahnya bertambah 51 kasus," kata Dadan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Menkes, BPOM, BKKBN, dan Komisi IX DPR soal Penanganan Kasus Program MBG di Gedung Parlemen DPR, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Data BGN menunjukkan kasus keracunan tersebar di tiga wilayah besar, pertama Wilayah I (Sumatera) yang mencatat ratusan siswa terdampak, termasuk kasus di Palembang dan Karimun. Kedua, Wilayah II (Jawa) mencatatkan paling dominan, dengan kasus di Garut, Bandung, hingga Cihamplas Pasarbo.
Ketiga di Wilayah III (Indonesia Timur) yang meliputi Nunukan, Ujung Bulu, Mamuju, hingga Banggai, yang menjadi kasus terbesar dengan 338 anak sakit. Dadan menjelaskan, penyebab kasus bervariasi, mulai dari kesalahan dalam pengadaan bahan baku, distribusi makanan yang melewati batas waktu aman, hingga pergantian pemasok yang tidak siap secara kualitas.
Menurut Dadan, sebagian besar kasus terjadi karena standar operasional prosedur (SOP) yang ditetapkan tidak dijalankan dengan baik.
"Pembelian bahan baku seharusnya H-2, ada yang dilakukan H-4. Proses memasak dan distribusi maksimal enam jam, ada yang sampai 12 jam. Hal-hal seperti ini yang kemudian menimbulkan masalah," jelasnya.
Sebagai tindak lanjut, BGN menutup sementara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terbukti melanggar SOP hingga proses perbaikan selesai. Presiden juga telah memerintahkan agar setiap SPPG dilengkapi dengan alat sterilisasi, rapid test makanan, serta melibatkan juru masak terlatih.
Dadan juga menekankan, sertifikasi bakal diperketat. Setiap SPPG, kata ia, wajib memiliki Sertifikat Laik Higieni dan Sanitasi (SLHS) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, serta sertifikasi keamanan pangan berbasis HACCP dari lembaga independen.
"Penutupan SPPG yang melanggar bersifat sementara, sampai mereka bisa menyesuaikan diri dengan standar yang berlaku," ujar Dadan.
Hal penting lain yang juga disorot Dadan yakni masih ada SPPG yang belum memiliki sanitasi air bersih memadai. Beberapa unit belum menggunakan air panas untuk mencuci peralatan makan, meski ada yang sudah memiliki alat sterilisasi hingga suhu 120 derajat.
"Sanitasi dan higienitas menjadi fokus utama. Ke depan kami akan melibatkan lebih banyak tenaga ahli dan memastikan setiap dapur layak," kata Dadan.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nampan MBG Diduga Mengandung Minyak Babi, Pemerintah Siap Uji Lab