REPUBLIKA.CO.ID, BALI – Bank Indonesia (BI) kembali menggelar Bali Jagadhita untuk yang ke-6 kalinya pada 2025. Gelaran rutin tahunan tersebut merupakan ajang menyinergikan sektor perdagangan, investasi, dan pariwisata untuk menyokong akselerasi pertumbuhan ekonomi Pulau Dewata.
BI bersama Pemerintah Provinsi Bali secara konsisten mengadakan Bali Jagadhita sebagai salah satu medium untuk menggeliatkan perekonomian Bali yang mulai pulih pascapandemi Covid-19.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Filianingsih Hendarta menyampaikan, di tengah ketidakpastian ekonomi global dan perlambatan ekonomi domestik pada kuartal I 2025, Provinsi Bali telah mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif mencapai 5,52 persen (yoy). Angka tersebut berada di atas rata-rata nasional sebesar 4,87 persen, dan menjadi yang tertinggi ke-8 nasional pada kuartal I 2025.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal awal 2025 tersebut juga jauh dari angka pertumbuhan ekonomi pada saat pandemi yang bahkan tercatat minus. Sejalan dengan itu, tercatat angka inflasi Provinsi Bali hingga April 2025 berada di angka 2,3 persen, atau solid di target sasaran 2,5 persen plus minus 1 persen.
“Jika dibandingkan dengan rerata pertumbuhan Bali sebelum pandemi sebesar 6,09 persen (yoy), maka jelas terlihat bahwa Bali sedang berada di jalur pemulihan yang semakin kuat dan terarah,” ujar Fili saat membuka acara Bali Jagadhita bertajuk ‘Mendorong Implementasi Pariwisata, Perdagangan, dan Investasi Berkualitas yang Sustainable untuk Pertumbuhan Ekonomi Bali yang Berkesinambungan, Merata, dan Inklusif’ yang digelar di Gedung Dharma Negara Alaya, Denpasar, Bali, Senin (2/6/2025).
Fili menuturkan, secara jangka panjang, dengan mengusung paradigma ‘ekonomi kerthi Bali’, Bali terus menggaungkan strategi diversifikasi ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata dan inklusif di seluruh wilayah Bali.
“Tiga sektor utama yang menjadi tulang punggung transformasi adalah pariwisata, perdagangan, dan investasi, atau disebut TTI,” ujarnya.
Namun ada sejumlah tantangan yang perlu dihadapi dalam implementasinya. Dari aspek pariwisata, tercatat saat ini sekitar 70 persen aktivitas pariwisata masih terpusat di Bali bagian selatan, khususnya di kawasan Sarbagita. Konsentrasi tersebut mulai berdampak pada kualitas kunjungan wisatawan, terlihat dari menurunnya ekspektasi terhadap eksklusivitas destinasi akibat kepadatan pengunjung.
“Di sisi lain, ketergantungan sektor perdagangan pada konsumen wisatawan masih sangat tinggi. Studi kami menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat antara penjualan eceran dan jumlah wisatawan,” ujarnya.
Ia menyebut, akses terhadap pembiayaan bagi UMKM juga masih perlu terus didorong, terefleksi dari terbatasnya pertumbuhan kredit UMKM pada kuartal I 2025. Tercatat, angka kucuran kredit perbankan di Bali pada Januari—Maret 2025 tumbuh single digit, yakni 7,25 persen.
Kemudian pada sektor investasi, Fili mengatakan, investasi juga masih dominan di sektor tersier dan terpusat pada wilayah tertentu khususnya Sarbagita (87 persen investasi). Sementara potensi di luar Sarbagita masih belum tergarap optimal. Oleh karena itu, upaya pemerataan investasi dan pengembangan destinasi wisata baru mutlak diperlukan untuk memperluas manfaat pembangunan yang lebih merata.
“Kendati masih menghadapi berbagai tantangan struktural, sektor pariwisata Bali menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Pada kuartal I 2025, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali tidak hanya pulih, tetapi telah melampaui capaian saat pandemi. Ini merupakan indikasi bahwa Bali tetap menjadi destinasi favorit dunia,” ungkapnya.
Kunjungan wisatawan mancanegara terbanyak masih didominasi oleh wisatawan dari Australia, Tiongkok, India, Korea Selatan, dan Inggris. Masing-masingnya memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pemulihan pariwisata.
“Momentum ini adalah sesuatu yang harus terus kita jaga. Selain meningkatkan jumlah kunjungan, kita juga perlu memastikan kualitas pengalaman wisatawan tetap terjaga, dengan membangun destinasi yang lebih eksklusif, ramah lingkungan, dan berbasis budaya lokal,” jelasnya.
Lebih lanjut, Fili menjelaskan, dalam mendukung akselerasi pemulihan dan transformasi ekonomi Bali, digitalisasi sistem pembayaran menjadi instrumen yang sangat krusial.