Bijih Besi Jadi Senjata Ekonomi Baru: Siapa Berkuasa, Mana Tersingkir?

4 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia- Pasar biji besi dunia, komoditas utama dalam industri baja, tengah menghadapi era baru yang penuh gejolak.

Jika dulu harga bijih besi hanya ditentukan oleh hukum pasokan dan permintaan, kini peta berubah drastis akibat perang dagang, nasionalisme sumber daya, hingga regulasi lingkungan yang makin ketat.

Nilai pasar atau market cap global bijih besi diperkirakan naik dari US$279,35 miliar pada 2023 menjadi US$290,25 miliar di 2024, dan diproyeksikan terus menanjak hingga US$397,98 miliar pada 2032, menurut laporan Fastmarkets yang dirilis 16 Juni 2025. Rata-rata pertumbuhan tahunan (CAGR) mencapai 4%.

Namun, di balik angka-angka itu, tersimpan tantangan besar yang siap mengguncang pasar global.

Melansir dari Fastmarkets sekitar 98% pasokan bijih besi global digunakan untuk memproduksi baja, yang menjadi tulang punggung berbagai sektor industri seperti konstruksi, otomotif, galangan kapal, alat berat, hingga infrastruktur.

Perubahan harga dan pasokan bijih besi tak hanya berdampak pada produsen baja, tetapi juga bisa memicu efek domino terhadap harga barang konsumsi, pembangunan energi, dan jaringan transportasi global. Itulah mengapa bijih besi kini masuk radar kebijakan ekonomi dan keamanan nasional di berbagai negara.

Tantangan Global

Ketegangan geopolitik dan kebijakan proteksionis membuat pasar bijih besi tak lagi stabil. Harga bisa melonjak atau anjlok tajam hanya karena satu perjanjian dagang atau perubahan arah politik. Akibatnya, negara-negara mulai mencari sumber bijih besi baru demi menghindari risiko ketergantungan, menciptakan dinamika baru dalam peta perdagangan dunia.

Beberapa negara kini menerapkan kebijakan lebih ketat terhadap ekspor bahan tambang, termasuk bijih besi. Misalnya, China konsumen terbesar dunia semakin bergantung pada pasokan dari Afrika, seiring upayanya mendiversifikasi sumber bahan baku dan mengurangi dominasi Australia serta Brasil.

Permintaan yang bergeser juga menjadi tantangan, demand dalam negeri China mulai melemah akibat perlambatan sektor properti dan konstruksi. Namun, ekspor baja jadi negara lain justru meningkat 6,3% pada awal 2025.

Di sisi lain, margin produksi baja yang rendah mendorong banyak pelaku industri memilih bijih besi kadar rendah dan strategi pencampuran (blending) yang lebih hemat biaya.

Transisi Hijau Mengubah Pola Permintaan

Desakan global untuk mendekarbonisasi industri baja turut memengaruhi permintaan bijih besi.

Seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di Eropa yang mendorong negara produsen menekan emisi karbon dalam proses produksinya.

Selain itu, adanya pergeseran dari tanur sembur (blast furnace) berbasis batu bara ke electric arc furnace (EAF) mendorong penggunaan scrap metal dan bijih besi kualitas tinggi seperti direct reduced iron (DRI).

Teknologi steelmaking berbasis hidrogen juga mulai diadopsi Jepang dan Eropa, membuka jalur perdagangan baru yang terhubung dengan sumber energi terbarukan.

Risiko Geopolitik dan Ketergantungan Pasokan

Pasar bijih besi global sangat bergantung pada dua negara: Australia dan Brasil. Ketegangan geopolitik atau gangguan produksi di dua negara ini bisa mengguncang pasokan global dalam waktu singkat. Diversifikasi sumber pasokan menjadi agenda penting di tengah konflik antara blok-blok dagang besar dunia.

Tahun 2025 akan menjadi penentu bagi pasar bijih besi dunia. Isu nasionalisme sumber daya, regulasi hijau, dan konflik geopolitik masih akan mendominasi. Namun di sisi lain, transisi menuju baja hijau dan perubahan pola konsumsi membuka peluang baru.

Industri dituntut lebih lincah dalam membaca pasar, mengelola risiko rantai pasok, dan berinvestasi pada teknologi ramah lingkungan. Jika berhasil, pasar bijih besi bukan hanya bertahan, tetapi juga tumbuh dalam era baru yang lebih berkelanjutan.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |