REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan sampah masih menjadi "hantu" klasik di banyak desa di Indonesia, termasuk di Desa Sekaran, Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo. Di tengah komitmen dunia akan Environmental, Social, and Governance (ESG) dan sustainability untuk melawan perubahan iklim yang kian nyata, tumpukan sampah di desa-desa ini menjadi pengingat suram bahwa krisis lingkungan dimulai dari halaman rumah kita sendiri. Setiap bungkus plastik dan limbah organik yang salah urus, berkontribusi pada jejak karbon global yang mengancam masa depan planet ini.
Setiap hari, desa dengan jumlah penduduk sekitar 3.500 jiwa ini menghasilkan sekitar 1,75 ton sampah, sebuah volume yang signifikan untuk skala lokal. Sebagian besar terdiri dari sampah organik rumah tangga, sampah anorganik seperti plastik, dan residu yang sulit diolah. Sayangnya, mayoritas sampah tersebut masih dikelola dengan cara primitif: dibakar, ditimbun, atau dibuang sembarangan ke lahan kosong atau sungai.
Kondisi ini bukan hanya mengganggu kebersihan dan estetika lingkungan, menciptakan pemandangan yang tidak sedap dipandang mata. Dampaknya jauh lebih dalam, mengancam kesehatan fundamental warga desa. Air tanah terancam tercemar oleh lindi (air sampah), kasus penyakit pernapasan meningkat tajam akibat asap pembakaran terbuka, dan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan pun menurun drastis.
Melihat situasi kritis ini, tim dosen dari Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor merasa terpanggil untuk turun tangan. Mereka tidak bisa tinggal diam melihat potensi bencana lingkungan di depan mata mereka sendiri.
Mereka menggagas sebuah program bernama Gerakan Sadar Sampah (GSS), sebuah inisiatif yang tidak hanya bertujuan mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat, tetapi juga membekali warga dengan keterampilan dan teknologi pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Ini adalah upaya konkret untuk menerapkan prinsip ESG di level akar rumput, dimulai dari Desa Sekaran.
Peran Sentral Dosen UNIDA Gontor
Program ini dipimpin oleh Rindang Diannita sebagai ketua tim Abdimas, dengan dukungan dua dosen lainnya, yakni Mohammad Muslih dan Yuangga Kurnia Yahya, serta melibatkan mahasiswa. Para dosen ini tidak sekadar memberikan ceramah atau penyuluhan, tetapi benar-benar merancang program secara komprehensif: mulai dari identifikasi masalah, penyusunan strategi, implementasi teknologi, hingga pendampingan intensif di lapangan.
“Permasalahan sampah tidak bisa diselesaikan hanya dengan menambah jumlah tempat sampah. Yang jauh lebih penting adalah mengubah cara pandang masyarakat. Kami ingin masyarakat melihat sampah bukan sebagai beban, melainkan sebagai sumber daya,” jelas Rindang saat ditemui di sela kegiatan.
Kehadiran para dosen UNIDA Gontor di Desa Sekaran bukan hanya menghadirkan solusi praktis, tetapi juga menghadirkan kepercayaan diri baru bagi masyarakat. Mereka melihat bahwa perguruan tinggi tidak hanya berurusan dengan dunia akademik, tetapi juga ikut memikirkan dan menyelesaikan masalah nyata di sekitar.

2 hours ago
1
















































