Bos Bulog Usul HET Gula Berlaku, Perlu atau Tidak?

2 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Perum Bulog mengusulkan adanya kebijakan harga eceran tertinggi (HET) untuk gula konsumsi di tingkat konsumen. Saat ini yang berlaku adalah harga acuan pembelian oleh produsen dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen, ditetapkan dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 12 Tahun 2024 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Produsen dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen Komoditas Kedelai, Bawang Merah, Bawang Putih, Cabai Rawit Merah, Cabai Merah Keriting, Gula Konsumsi, dan Daging Sapi/Kerbau. 

HET gula merupakan satu dari 4 usulan Rizal untuk skema kebijakan baru pergulaan di Indonesia yang diajukan Direktur Utama Bulog Ahmad Rizal Ramdhani dalam dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Senin (29/9/2025).

Rizal mengaku, baru mengusulkan sistem HET gula setelah resmi memimpin Bulog. Kata dia, tujuan utama konsep ini adalah stabilitas harga sekaligus mendukung swasembada pangan nasional.

"Ya karena untuk kepentingan nasional, supaya sesuai dengan arahan Bapak Presiden (PrabowoSubianto) maupun para pimpinan Anggota Dewan, Indonesia itu supaya swasembada pangan, swasembada termasuk juga gula," kata Rizal mengungkapkan alasan perlunya HET gula, dikutip Rabu (1/10/2025).

"Untuk menjaga keterjangkauan harga di hilir," sambungnya.

Lantas, seberapa mendesak HET gula diberlakukan?

Pengamat Pertanian Khudori menyatakan tidak setuju jika HET diterapkan secara mengikat di pasar. Alasannya, harga bahan baku seperti tebu sangat fluktuatif dan tidak bisa dipatok tetap.

"Ya, sebetulnya, saya seperti di beras, saya cenderung tidak setuju, tidak setuju ada HET. Karena pada dasarnya bahan baku itu tidak bisa dipatok harganya tetap," kata Khudori kepada CNBC Indonesia, Rabu (1/10/2025).

"Kenapa harga bahan baku tidak bisa dipatok tetap? Karena biaya produksi, untuk memproduksi bahan baku dalam hal ini tebu, itu juga nggak tetap. Siapa yang bisa menyetel dengan harga fix, dengan harga tetap, biaya angkutan misalnya, biaya tenaga kerja, biaya sewa lahan, itu semua variabel sifatnya, yang berubah-ubah, dan tiap tahun cenderung naik. Dan tiap daerah juga berbeda-beda," jelasnya.

Meski begitu, ia menilai pemerintah tetap bisa menetapkan HET sebagai instrumen stabilisasi, dengan jaminan tidak mengikat publik dan pelaku usaha.

"Bahwa harga HET bisa saja pemerintah tetapkan, bisa saja ditetapkan, tapi tidak harus mengikat publik, tidak harus mengikat pelaku usaha, itu hanya mengikat kepada BUMN yang ditugaskan pemerintah untuk melakukan stabilisasi," ucap dia.

Ia mencontohkan, pemerintah bisa menetapkan HET gula di tingkat konsumen Rp17.500 per kilogram (kg) hanya untuk Bulog.

"Kalau harga gula naik ke atas Rp17.500 per kg, karena pemerintah melalui Bulog punya cadangan, yang diserap dari petani, pemerintah bisa melakukan operasi pasar, supaya harga itu mendekati atau bahkan lebih bawah dari Rp17.500 per kg HET-nya. Tapi ini tidak mengikat publik, tidak mengikat pelaku usaha yang lain," lanjut Khudori.

Ia juga mengingatkan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah mengatur agar regulasi harga hanya mengikat pemerintah, bukan masyarakat.

"Kalau kita baca Undang-Undang Pangan ya, pasal 56 ayat a dan b, itu jelas sekali sebetulnya regulasi di tingkat produsen, regulasi di tingkat konsumen yang dibuat oleh pemerintah, itu hanya mengikat pemerintah. Ya, lewat organ yang ditunjuk, BUMN-BUMN pangan yang ditunjuk. Tidak mengikat masyarakat," tegasnya.

Khudori mencontohkan kegagalan penerapan HET, yang disebutnya terjadi pada HET beras. Belum lagi, kata dia, HET tidak dijalankan konsisten.

"Yang terjadi di beras, salah satunya antara yang lain. Sejak diberlakukan September 2017, apakah HET itu dipatuhi? Di ritel modern iya, tapi di pasar tradisional tidak pernah patuh sejak 2017 sampai sekarang. Tapi pemerintah tidak melakukan penindakan, kan diskriminatif sebetulnya," ucap dia.

HET Kendalikan Inflasi

Terpisah, Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian mendukung adanya HET pada gula konsumsi di tingkat konsumen. Namun dengan catatan, pemerintah harus menjamin mekanismenya yang lebih fleksibel.

Menurutnya, kebijakan HET gula konsumsi di tingkat konsumen penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan mencegah inflasi pangan.

"HET dapat berfungsi untuk menjaga harga di pasar agar daya beli masyarakat tetap terjaga. HET di tingkat konsumen penting namun harus ada pemahaman HET sehingga lebih responsif terhadap dinamika perubahan harga di tingkat masyarakat," jelas Eliza, dihubungi terpisah..

Eliza menilai penetapan HET selama ini terlalu kaku dan tidak responsif terhadap perubahan harga. "Karena penentuan HET di level pemerintah ini proses yang kaku dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga kerapatan HET dan harga riil tidak sama, karena harga-harga di masyarakat cepat naik sementara HET ditetapkan berapa tahun sekali," ucap dia.

"Agar tidak terjadi gap antara HET dengan harga riil, maka perlu diformulasikan penentuan HET-nya," sambungnya.

Ia juga menyebut kebijakan HET dapat menjadi alat untuk mengendalikan inflasi. "Kebijakan HET setidaknya bisa mencegah inflasi pangan, yang sering dipicu oleh asimetris informasi sehingga rentan terhadap spekulasi," kata Eliza.

Menurutnya, Cadangan Gula Pemerintah (CGP) yang tengah diusulkan untuk dikelola Bulog bisa berfungsi sebagai buffer stock, mirip dengan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), untuk meredam pembengkakan harga akibat musim kemarau atau gangguan rantai pasok global.

Namun, agar efektif menjaga harga, Eliza menekankan perlunya pengawasan yang ketat. "Efektivitas HET ini agar berhasil menjaga stabilitas harga di konsumen perlu didukung dengan pengawasan yang ketat dan transparansi data di setiap rantai pasok, sehingga bisa ditelusuri aliran stok-nya," pungkasnya.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article 182.200 Ton Beras Murah Bulog Diguyur ke Pasar, Harga Cuma Segini

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |