Catatan Cak AT: AI di Gerbang Makkah

1 day ago 3

 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: AI di Gerbang Makkah. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Gerbang tol menuju Makkah kini bukan sekadar tempat bayar-membayar. Ia telah berevolusi menjadi panggung drama teknologi tinggi, di mana jemaah haji ilegal dan petugas keamanan Arab Saudi memainkan lakon klasik: kucing-kucingan.

Namun, tahun 2025 ini, si kucing tak lagi mengandalkan insting saja. Ia kini dipersenjatai AI —Artificial Intelligence— yang jauh lebih canggih ketimbang intel Kodam. Ya, selamat datang di era "Haji dan Sensor"! Di mana kamera pengawas tak hanya merekam, tapi juga berpikir.

Dengan sistem pengenalan wajah, pelat nomor, pola perjalanan kendaraan, dan bahkan deteksi emosi (!) para penumpang, AI Saudi Arabia bekerja seperti malaikat penjaga yang sudah lulus training machine learning,

Baca juga: Catatan Cak AT: Elegi Berhaji Melintasi Gurun Saudi

Pengelolaan haji Saudi makin canggih. Petugas berseragam kemanan haji tak perlu lagi menepuk kaca jendela mobil sambil bertanya, “Mau ke mana, Pak?” Sebab, sensor suhu tubuh, tekanan napas, dan data GPS mobil Anda sudah mengoceh lebih dulu.

Menurut Letnan Jenderal Mohammed Al-Bassami, sang Komandan Keamanan Haji, di musim haji tahun 2025 ini lebih dari 110 ribu kendaraan dihentikan, 5 ribu disita, dan 269 ribu orang diusir dari Mekkah.

Kalau angka ini dibuat bagan pai, kita perlu satu truk martabak untuk menemani analisanya. Tapi yang pasti, algoritma mereka bukan sembarang algoritma.

Sensor dan AI itu telah mempelajari pola: kendaraan mana yang muncul tiap musim haji, siapa sopirnya, berapa kali ia bolak-balik.

Baca juga: Catatan Cak AT: Selamat Tinggal, Wahai Mina

Bahkan, mereka kini dengan mudahnya mengetahui apakah mobil itu terlalu bersih untuk sekadar mobil keluarga. Jemaah haji ilegal kini tak hanya harus bersembunyi dari petugas, tapi juga dari AI yang mungkin mendeteksi keberadaan mereka hanya dari cara mereka berkedip.

Di tengah drama ini, Indonesia kembali tampil memukau. Tentu saja bukan karena prestasi pengelolaan haji, tapi karena reputasi para pelaku hajinya, termasuk jenis furoda, yang "kreatif." Ya, kreatif.

Bagi sebagian pengelola, menembus Mekkah tanpa visa resmi bukan pelanggaran, melainkan tantangan. Maka ketika pemerintah Saudi memutuskan tidak memberikan satupun visa furoda ke Indonesia tahun ini, sebagian orang terkejut, sebagian lagi hanya mengangkat alis: “Lha, ya wajar.”

Baca juga: Main Proyek dan Minta Fee Rp 27 Miliar, 2 ASN Kementan Dipecat

Bayangkan, lebih dari 415 kantor haji palsu digerebek —dan itu baru dari catatan Saudi! Belum termasuk yang beroperasi diam-diam dari balik toko kurma, travel umrah, hingga grup WhatsApp “Haji Hemat Halal.” Banyak juga yang sembunyi di balik gamis dan burqa hitam.

Yang lebih ironis, Mesir masih dapat visa furoda. Artinya, bukan soal negara berkembang atau jumlah umat, tapi _track record_. Ketika para “pengusaha haji” Indonesia menjadikan furoda sebagai celah untuk menyelundupkan jamaah, Saudi tak tinggal diam.

Apalagi, jangan-jangan algoritma mereka juga mungkin telah mencatat bahwa plat mobil berisi jemaah ilegal paling sering berasal dari Madinah sektor 3, dengan logat khas Jatinegara saat bicara. Pokoknya, pola kerja ilegal jamaah kita sudah masuk algoritma AI Haji Saudi.

Baca juga: Catatan Cak AT: Singkong Saja Impor

Di balik kehebatan AI, ada pula sisi reflektif yang perlu kita renungkan. Di satu sisi, teknologi ini berhasil menertibkan ibadah haji agar benar-benar aman, nyaman, dan tertib.

Dalam skala lebih luas, ini juga bentuk keadilan sosial: agar kuota resmi tak disabotase oleh jemaah bodong yang menyerobot hak orang lain.

Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan etis: seberapa jauh pengawasan harus berjalan? Apakah kita rela dipantau hingga ke pola detak jantung hanya demi menertibkan satu ibadah?

Apakah setiap penyimpangan kecil harus dikenai denda hingga Rp 400 juta, deportasi, atau penyitaan mobil?

Baca juga: Wuling Masih Menjadi Mobil China Terlaris di Indonesia

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk membela pelanggaran, tapi untuk memastikan bahwa di tengah kegemilangan AI, manusia tetap punya tempat—bukan sekadar data dalam sistem.

Bagi Indonesia, pelajaran besar dari haji 2025 bukan hanya soal visa furoda, tapi soal kepercayaan. AI mungkin tak punya rasa, tapi sistem Saudi jelas punya catatan: siapa saja yang ‘nakal’ akan ditandai, siapa yang patuh akan diberi ruang.

Maka jika ingin Indinesia kembali mendapatkan kepercayaan, pemerintah kita tidak bisa sekadar bolak-balik ke Saudi merayu diplomatik. Kita harus mereformasi ekosistem pengelolaan haji dari hulu ke hilirn—dari travel agent hingga pemilik hotel transit.

Karena kalau tidak, tahun depan bukan hanya AI Saudi yang memblokir kita, tapi mungkin nanti AI Google pun akan memberi notifikasi: “Pencarian ‘visa furoda murah tanpa antre’ Anda terdeteksi mencurigakan. Harap bertobat.”

Baca juga: Disdukcapil Depok Ingatkan Warga Waspadai Penipuan Berkedok Aktivasi Identitas Kependudukan Digital

Mekkah bukanlah kota biasa. Ia adalah simbol kesucian, ketertiban, dan ibadah total. Maka tak heran jika Saudi berani menggunakan teknologi tertinggi demi menjaga kesakralannya.

Kita sebagai tamu, tentu tak hanya harus siap secara ruhani, tapi juga siap taat pada aturan—yang kini dibantu AI, bukan hanya malaikat. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, AI-lah yang pertama kali menyapa kita di Bandara Jeddah:

“Selamat datang, Bapak Fulan. Anda sudah mendaftar haji legal. Visa Anda valid. Air zam-zam tersedia di Gate 2. Semoga mabrur.”

Kalau begitu, barulah kita benar-benar naik haji, tanpa harus main petak umpet di balik dashboard mobil. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 12/6/2025

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |