Catatan CaK AT: Tragedi Longsor Kreatif Gunung Kuda Cirebon

1 day ago 5

 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Tragedi Longsor Kreatif Gunung Kuda Cirebon. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di pagi yang mestinya syahdu di kaki Gunung Kuda, di Bobos, Cirebon Jawa Barat, angin menyusup di antara pepohonan, menyapu permukaan dedaunan yang belum tahu nasibnya hari itu. Puncak gunung itu hijau, tapi keindahan itu menipu. Sebab di sisi lain gunung, dindingnya memutih —seputih janji keselamatan yang tak ditepati.

Dari kejauhan, terdengar lantunan ayat suci al-Qur’an mengalun dari masjid pesantren. Hari itu Jumat. Hari yang katanya berkah. Hari yang menurut ayat suci harusnya umat Islam beristirahat sejenak dari kesibukan dunia. Tapi rupanya, para penambang di lereng Gunung Kuda punya tafsir sendiri soal berkah.

Mereka membawa puluhan truk yang diatur mengantre dengan sabar. Tepat di bawah tebing gunung, alat-alat berat semacam beko menggeram seperti naga lapar.

Baca juga: Lukai Petugas dengan Sajam, Puluhan Napi Kabur dari Lapas Nabire Papua Tengah

Mereka tidak sedang membangun jalan tol atau infrastruktur negara. Mereka sedang mengais timbunan batu untuk dinaikkan ke atas truk yang berjajar mengular.

Bersama itu, di hari tragedi itu mereka rupanya juga sedang menunggu hujan batu —bukan dari langit, tapi dari atas gunung yang kini tak lagi punya kaki. Gunung Kuda yang tak dibekali “kuda-kuda” itu tiba-tiba saja runtuh dalam sekejab. Maklum saja, tebingnya sengaja digunduli para penambang dari bawah ke atas. Bukan dari atas ke bawah.

Sungguh kreatif dan efisien. Itu disengaja, demi menghemat biaya longsor. Eh, maaf. Maksudnya biaya produksi. Menurut kalkulasi, sekali longsoran bisa menghemat biaya produksi antara Rp 2 sampai Rp 3 miliar. Kenapa nambang rapi-rapi kalau batu-batu jutaan kubik itu bisa dibikin jatuh semua sekalian?

Baca juga: Pemkot Depok akan Kaji Wacana Anak Masuk Sekolah Jam 06.00 WIB

Bagi mereka, itu cara mengambil batu secara hemat, cepat, praktis, dan —kalau beruntung— tak ada korban jiwa. Masalahnya, Jumat naas itu, keberuntungan sedang mudik. Sekitar 25 orang tertimbun di bawah longsoran yang bukan “alamiah,” meski selalu diumumkan begitu. Belasan truk dan beko ikut terkubur.

Gunung Kuda tak sekadar runtuh secara geologis, juga moral. Tapi siapa yang patut disalahkan? Jawabannya, jangan terlalu cepat. Karena ini bukan drama satu tokoh. Ada koperasi, ada yayasan, ada PT, ada ormas. Ada yang mengelola lahan lima hektar, dua hektar, juga yang hanya “nebeng izin tapi semangat maksimal.”

Nama-nama Kopontren Al-Azhariyah, KUD Bumi Karya, Yayasan Al-Islah (Koperasi Konsumen Pontren Al-Ishlah), Yayasan Satori, dan Yayasan Al-Jariah, bukan nama-nama fiktif, tapi benar-benar pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) di Gunung Kuda. Yang paling disorot? Ya tentu saja Kopontren Al-Azhariyah.

Baca juga: Kesaktian Pancasila, Ini Dialog Presiden Soekarno dengan Presiden Josef Broz Tito

Lahan tambangnya hari itu runtuh. Izinnya aktif hingga 2025 tapi sejak awal 2024 sudah cuek bebek sama kewajiban administratif: tak ada dokumen RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya). Diingatkan berkali-kali oleh Dinas ESDM, tetap ngeyel. Mungkin karena merasa tambang ini "tanah surga, tongkat dan batu jadi tambang semua."

Apakah pemerintah diam? Ngakunya tidak. Setelah 19 orang tewas dan 6 masih hilang dalam timbunan berton-ton batu, semua izin tambang di gunung itu langsung dicabut. Satu langkah cepat, meskipun telat. Ibarat pemadam kebakaran yang datang ketika rumah sudah jadi arang. Tapi ya, lebih baik terlambat daripada selamanya diabaikan.

Yang lebih menyedihkan dari longsor itu adalah efek domino moral dan sosial. Yayasan-yayasan lain pengelola tambang, seperti Yayasan Al-Islah, yang katanya justru menjalankan operasional dengan lebih tertib, ikut kena getahnya. “Kesalahan tetangga,” kata mereka, “kok kami juga ditutup?”

Baca juga: Catatan Cak AT: Homo Erectus Purba di Laut Madura

Tapi begitulah, di negeri ini, hukum kadang pakai sistem sprinkler: yang basah bukan hanya api, tapi semua orang di sekitarnya. Walau tidak semua tangan memegang beko, tapi kalau semua diam saat beko itu menggali kuburan sendiri, ya kita semua bersalah.

Dan bicara soal diam, jangan lupakan warga sekitar. Kampung padat di Bobos itu mendengarkan lantunan al-Qur’an setiap Jumat, tapi juga mendengar suara raungan mesin tambang setiap hari. Mereka hidup berdampingan dengan bom waktu, yang satu hari benar-benar meledak.

Pertanyaannya, apakah warga cuma korban? Atau sebenarnya juga penonton yang tak berdaya? Gunung Kuda memang tak punya kaki, tapi dulu ia punya marwah. Kini ia ompong di satu sisi, dan berlubang di sisi lain —seperti kepercayaan publik terhadap tata kelola tambang yang sehat.

Baca juga: Catatan Cak AT: Wajah Beethoven Setelah Dua Abad

Yang lebih menyakitkan, ini bukan pertama kalinya. Tahun 2011, tujuh orang tewas. Tahun 2015, lagi-lagi ada korban dan pengurus KUD jadi tersangka. Tapi ya begitu, tambang tetap beroperasi, karena rupanya nyawa lebih murah dari harga batu urugan.

Sekali longsoran bisa menghasilkan material batu untuk 300–400 truk. Harga satu truk batu putih sekitar Rp 400 ribu. Kalau dikali, itu miliaran. Tapi kalau dikalkulasi nurani, berapa harga nyawa seorang pekerja tambang yang pagi itu masih sarapan dengan harapan akan pulang sore harinya?

Kini Gunung Kuda masuk zona darurat. Inspektur tambang siaga 24 jam. Drone dikerahkan. K-9 dari Polda ikut menggonggong harap-harap cemas. Semua jadi hero setelah tragedi. Tapi kita tahu, pahlawan terbaik adalah yang mencegah longsor, bukan yang menghitung jenazah.

Baca juga: Komunitas Ketoprak Guru Besar UI Pentaskan Lakon Ciung Wanara, Kuatkan Kejayaan Budaya Sunda

Mungkin ini saatnya kita berhenti memperlakukan gunung sebagai toko kelontong, di mana batu bisa diambil seenaknya asal ada izin. Gunung bukan benda mati. Ia saksi, ia sabar, tapi juga bisa marah. Dan ketika ia runtuh, bukan hanya tebing yang jatuh, tapi juga logika dan hati nurani kita.

Selamat tinggal, Gunung Kuda. Maafkan kami yang terlalu rakus, terlalu cuek, dan terlalu pandai menyalahkan alam atas kesalahan yang sepenuhnya buatan manusia. Telah tampak kerusakan di muka bumi, karena ulah tangan-tangan manusia. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 3/6/2025

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |