Home > Kolom Sunday, 27 Jul 2025, 12:30 WIB
Kepentingan maritim Indonesia perlu diperhatikan lebih lanjut.

ShippingCargo.co.id, Jakarta —– Keikutsertaan Delegasi Indonesia dalam Global Aviation and Maritime Symposium serta International Safety@Sea Week 2025 pada 16 Juli silam bukan sekadar kegiatan seremonial. Kehadiran perwakilan Kementerian Perhubungan dan Duta Besar RI menunjukkan posisi Indonesia yang kian strategis di panggung transportasi global karena ini adalah sebuah panggung yang kini makin kompleks karena tekanan keberlanjutan, geopolitik, dan transformasi teknologi.
Diselenggarakan oleh Pemerintah Singapura, simposium ini menandai forum internasional perdana yang menjawab pertanyaan krusial: bagaimana sektor maritim dan aviasi dunia bisa bertransformasi tanpa kehilangan daya saing dan konektivitasnya? Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan posisi strategis di jalur pelayaran internasional, tentu tak bisa hanya jadi penonton.
Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Samsuddin, menunjukkan langkah konkret dengan menjalin diskusi bilateral bersama Sekjen IMO Arsenio Dominguez. Topik-topik yang dibahas—mulai dari dekarbonisasi, keselamatan pelayaran, hingga Maritime Autonomous Surface Ships (MASS)—mencerminkan bahwa Indonesia tak lagi sebatas penerima kebijakan global, tetapi aktif membentuknya. Terlebih, menurut situs resmi Ditjen Hubla, usulan Indonesia untuk memperkuat peran negara berkembang di IMO adalah sinyal penting bahwa Jakarta mulai menuntut kursi setara di meja perundingan internasional.
Sementara itu, kehadiran Indonesia dalam forum Safety@Sea dan latihan CHEMSPILL menunjukkan niat baik dan komitmen serius terhadap keselamatan dan perlindungan lingkungan maritim. Dalam konteks ini, pemanfaatan Maritime Digital Twin dan chemical plume modelling tidak hanya relevan secara teknologi, tetapi juga mencerminkan kesiapan Indonesia untuk memasuki fase baru pelayaran cerdas (smart shipping).
Namun semua komitmen dan kolaborasi ini hanya akan bermakna jika diterjemahkan ke dalam kebijakan nasional yang progresif, regulasi yang adaptif, dan investasi sumber daya manusia yang mumpuni. Indonesia bisa dan harus mengambil peran lebih besar dalam tata kelola transportasi global—bukan karena ambisi kosong, melainkan karena kepentingan nasional yang tak bisa lagi ditunda.