Jakarta,CNBC Indonesia - Rupiah tengah mengalami tekanan yang sangat besar terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga mencatatkan level terlemah dalam 5 bulan terakhir atau sejak April 2025.
Melansir dari Refinitiv, pada perdagangan hari ini, Kamis (25/9/2025), rupiah sudah tembus level psikologis Rp16.700/US$. Bahkan rupiah sempat menyentuh level Rp16.750/US$ atau melemah 0,48%.Rupiah tercatat sudah melemah dalam enam hari beruntun sejak 18 September 2025 lalu.
Secara tren, mata uang Garuda memang sedang bergerak dalam tekanan terhadap dolar AS. Hal ini terlihat sepanjang September, di mana rupiah sempat menguat ke level Rp16.300/US$ pada 8 September 2025, namun setelah itu terus berbalik melemah hingga hari ini.
Apa Yang Menyebabkan Rupiah Melemah?
Pelemahan rupiah ini dipengaruhi oleh pengaruh sentimen dalam maupun luar negeri, mulai dari keluarnya modal asing dari Tanah Air hingga menguatnya indeks dolar AS dalam beberapa waktu belakangan.
Menurut Ekonom UOB Kayhian, Surya Wijaksana, pelemahan rupiah tidak lepas dari derasnya arus keluar modal asing (capital outflow) serta kondisi pasar keuangan domestik yang kurang kondusif.
"Kalau kita lihat, capital outflow terus terjadi. CDS naik dari 70 ke 81. Memang DXY masih di kisaran 97-98, tetapi faktor internal cukup besar. Saat ini porsi bond holding lebih banyak di bank domestik. Iklim investasi tampaknya juga belum kondusif karena banyak perubahan kebijakan, ditambah spread suku bunga dengan AS yang makin kecil. Mungkin juga ada outflow dari investor lokal," jelas Surya.
Senada dengan Surya, Rully Wisnubroto, Ekonom Senior Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menilai tekanan juga muncul dari faktor kebijakan fiskal.
"Saat ini memang sentimen dipengaruhi oleh kekhawatiran akan kebijakan fiskal yang ditempuh Menkeu baru yang terlalu agresif dan kurang memperhatikan kehati-hatian, terlihat dari CDS 5Y Indonesia yang terus naik," katanya.
Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, menambahkan bahwa peningkatan tajam pada Credit Default Swap (CDS) Indonesia menjadi salah satu indikator utama melemahnya persepsi risiko investor terhadap Indonesia.
"CDS Indonesia naik drastis, jadi kemungkinan karena sentimen dalam negeri kita juga," ujar Andry.
Sebagai catatan, CDS merupakan instrumen derivatif yang mencerminkan biaya perlindungan terhadap risiko gagal bayar utang suatu negara atau korporasi.
Semakin tinggi level CDS, maka semakin mahal biaya asuransi risiko tersebut yang berarti investor melihat risiko Indonesia meningkat. Naiknya CDS membuat investor asing cenderung mengurangi eksposur di pasar domestik sehingga dapat memberi tekanan terhadap rupiah.
Dari sisi teknikal, Researcher Mega Capital Sekuritas, Revo Gilang melihat bahwa pelemahan rupiah bisa berlanjut dalam jangka pendek.
"Dengan stochastic indicator yang mengarah ke atas, ada potensi pelemahan ke area Rp16.782 hingga Rp16.824/US$ dalam jangka pendek, bertepatan dengan imbalance dan dekat dengan area classic resistance level Rp16.884/US$," tulis Revo Gilang dalam MCS Research, Kamis (25/9/2025).
Lebih lanjut, Revo menambahkan bahwa apabila rupiah terus melanjutkan depresiasi, target pelemahan berikutnya berada di kisaran Rp17.149 hingga Rp17.214/US$ berdasarkan clustering fibonacci external retracement dengan pendekatan weekly time frame. Namun, proyeksi ini disebut valid selama rupiah tidak mampu menembus level support Rp16.370/US$.
Indeks Dolar AS Yang Menguat Turut Menjadi Faktor Pelemahan
Melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tak bisa dilepaskan dari penguatan indeks dolar AS (DXY). Indeks yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia ini mencatat kenaikan signifikan dalam beberapa hari terakhir.
Kenaikan DXY terjadi setelah Bank Sentral AS (The Fed) memangkas suku bunga acuan nya di September, sekaligus mencatatkan untuk pertama kali di 2025.
DXY telah menguat hingga 1,69% dari level terendahnya 96,218 pada Kamis (17/9/2025) hingga saat ini berada di level 97,755.
Normalnya, ketika suku bunga mulai dipangkas yang akan berimbas pada penurunan imbal hasil pasar keuangan yang berbasis dolar dan akan mendorong arus modal keluar dari AS dan akan menekan dolar itu sendiri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,DXY menguat setelah keputusan tersebut.
Faktor kunci nya adalah pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell yang bernada lebih hawkish dari ekspektasi pelaku pasar. Powell menekankan bahwa meski suku bunga dipangkas, arah kebijakan ke depan masih akan bergantung pada data inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja AS.
Nada hawkish ini ditangkap para pelaku pasar sebagai sinyal bahwa ruang penurunan suku bunga lebih akan terbatas, sehingga mendukung penguatan dolar AS.
Indeks harga konsumen (CPI) Agustus menunjukkan inflasi sebesar 2,9% yoy atau masih di atas target 2%, sementara itu melemahnya tenaga kerja AS terlihat dari penambahan lapangan kerja yang hanya 22 ribu pada Agustus dan adanya revisi penurunan data pertumbuhan penambahan lapangan kerja tahunan sekitar 900 ribu.
Selain itu, komentar pejabat The Fed San Francisco MaryDaly, turut menegaskan bahwa arah kebijakan masih sangat bergantung pada data ekonomi AS. Dengan kata lain, investor tidak bisa memastikan jadwal pemangkasan berikutnya.
Ketidakpastian ini menambah alasan bagi pasar untuk menahan aset dolar, memperkuat posisinya sebagai mata uang dominan global.
Intervensi Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) kerap kali melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas. Instrumen intervensi yang digunakan meliputi pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), hingga Surat Berharga Negara (SBN). Upaya ini menjadi salah satu strategi BI agar pelemahan rupiah tidak bergerak terlalu dalam dan tetap berada pada kisaran yang dapat dikendalikan.
Ekonom Mega Capital Sekuritas, Lionel Priyadi, mencatat bahwa BI sejauh ini sudah mengeluarkan sebagian besar cadangan devisanya untuk menopang rupiah.
"Sejauh ini BI sudah menggunakan 7 miliar dolar dari posisi cadangan devisa tertingginya untuk mempertahankan rupiah di 16.100-16.500. BI masih punya ruang sekitar 8 miliar dolar untuk intervensi yang kemungkinan sudah terpakai sebagian di bulan ini," ujarnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)