Harga Bergerak Liar, Emas Jadi Simbol Perlawanan kepada Ekonomi Barat

4 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia melonjak hingga menorehkan rekor baru dan menembus level bersejarah US$4.000 per troy ons. Level ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah emas dan juga menandakan perubahan besar yang tengah terjadi pada pasar global.

Di sepanjang 2025 ini saja, harga emas sudah melesat lebih dari 51%. Pada awal tahun, harga emas dunia masih diperdagangkan di kisaran US$2.600 per troy ons, namun kini harga telah meroket hingga puncaknya pada perdagangan Rabu(8/10/2025) ditutup di level US$4.037 per troy ons atau naik lebih dari US$1.400 hanya dalam waktu 10 bulan.

Pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (10/10/2025), harga emas ditutup di posisi US$ 4.017 per ton atau terbang 1,06%.

Kenaikan harga emas global ini tidak hanya mencerminkan permintaan terhadap safe haven aset dunia ini, tetapi juga menandakan kekhawatiran investor terhadap fundamental ekonomi dan stabilitas keuangan dunia.

Lonjakan ini bukan semata hasil dari pelemahan dolar AS atau ekspektasi penurunan suku bunga, tetapi mencerminkan pergeseran besar dalam kepercayaan investor terhadap tatanan keuangan global.

Berikut faktor utama yang menjadi penyebab reli emas.

1. Krisis Kepercayaan terhadap Sistem Keuangan Barat

Reli emas kali ini muncul dari rasa ketidakpercayaan terhadap sistem keuangan global yang saat ini dikuasai oleh Barat, terutama Amerika Serikat (AS).

Sejak pembekuan cadangan devisa Rusia pada 2022, akibat dari invasi Rusia ke Ukraina. Dan semakin seringnya penggunaan dolar AS serta sistem keuangan global sebagai alat sanksi politik, banyak negara mulai mempertanyakan netralitas aset keuangan seperti US Treasuries dan dolar AS.

Akibatnya, emas kembali dipandang sebagai aset yang netral dan bebas dari risiko politik. Tidak bisa dibekukan, tidak tergantung pada lembaga mana pun, dan tidak membawa risiko gagal bayar. Pergeseran ini menandai munculnya rezim keuangan baru di mana keamanan tidak lagi berarti dolar AS, tetapi lebih kepada kedaulatan aset finansial.

Kebijakan fiskal dan ketegangan politik global juga menambah lapisan ketidakpastian. Laporan Reuters menyoroti potensi "otoritarianisme ekonomi" di bawah pemerintahan Trump yang memicu kekhawatiran atas independensi The Fed. Investor menilai hal ini sebagai sinyal bahaya bagi stabilitas moneter jangka panjang.

Ketakutan atas utang publik global baik di AS, Jepang, maupun Eropa meningkat. Investor khawatir pembiayaan defisit akan memaksa negara-negara tersebut "mencetak uang" dan mendepresiasi mata uang. Dalam konteks ini, emas kembali berperan sebagai pelindung nilai (hedge) terhadap pelunakan moneter

2. Bank Sentral Dunia Berburu Emas dalam Skala Besar

Lonjakan harga emas juga digerakkan oleh pembelian masif dari bank sentral di seluruh dunia.

Data World Gold Council menunjukkan bahwa sejak 2010, hampir setiap tahun total bank sentral di dunia terus melakukan pembelian bersih dengan volume yang signifikan, bahkan mencapai 913 ton pada 2013, tertinggi dalam sejarah modern.

Tren ini berlanjut hingga dekade 2020-an. Dalam lima tahun terakhir, pembelian emas oleh bank sentral global konsisten di kisaran 300-700 ton per tahun.

Hingga Agustus 2025, volume pembelian sudah mencapai sekitar 208 ton, menandakan aktivitas pembelian emas oleh sejumlah bank sentra di dunia masih terus berlangsung.

Negara-negara seperti China , Rusia, India, hingga beberapa negara Timur Tengah aktif membeli emas.

Jika pada dua dekade lalu bank sentral lebih memilih dolar AS dan obligasi pemerintah Amerika sebagai aset cadangan, kini mereka semakin agresif beralih ke emas. Tujuannya bukan sekadar diversifikasi, tetapi juga untuk melindungi nilai cadangan dari risiko geopolitik dan sanksi keuangan yang kian sering terjadi.

3. Efek China: Dari Rumah Tangga hingga Bank Sentral

Dari sisi permintaan ritel, Tiongkok memegang peranan penting dalam reli emas kali ini. Lesunya pasar properti dan menurunnya kepercayaan terhadap instrumen keuangan domestik membuat masyarakat Tiongkok berbondong-bondong membeli emas sebagai tempat aman bagi kekayaannya.

Uniknya, struktur pasar emas di China bersifat satu arah artinya, emas yang diimpor masuk ke China tidak dapat keluar dari negeri Tirai Bambu tersebut. Artinya, setiap gram emas yang masuk ke pasar domestik akan tetap berada di sana, sehingga menciptakan tekanan pasokan global yang semakin ketat.

Kampanye media pemerintah yang menekankan emas sebagai investasi yang dinilai patriotic juga memperkuat arus pembelian emas, menjadikan China bukan hanya konsumen terbesar, tetapi juga penggerak utama pasar emas dunia.

4. Kekhawatiran atas Defisit AS dan Independensi The Fed

Dari sisi geopolitik dan fiskal, kondisi Amerika Serikat sendiri justru memperkuat posisi emas sebagai aset lindung nilai atau hedging. Defisit anggaran yang kian melebar membuat beban bunga utang pemerintah AS kini bahkan melampaui belanja pertahanan nasional.

Muncul pula kekhawatiran bahwa independensi The Fed dapat tergerus oleh tekanan politik dari Presiden AS saat ini Donald Trump. Trump sangat keras mengkritik keputusan The Fed yang dinilai lamban dalam melonggarkan kebijakan moneternya.

Selain itu, shutdown pemerintahan AS yang berlarut-larut menambah keresahan pasar terhadap kemampuan Washington mengelola keuangannya. Dalam situasi seperti ini, emas tampil sebagai satu-satunya aset yang benar-benar bebas dari risiko kepercayaan.

5. Hubungan Lama Antara Emas dan Suku Bunga Kini Pudar

Ketika The Fed menaikkan suku bunga hingga lebih dari 525 basis poin dalam waktu singkat, seharusnya harga emas turun namun yang terjadi justru sebaliknya. Harga emas bertahan dan bahkan melonjak menembus rekor lama di US$2.075 per ons pada 2024, lalu berlanjut hingga mencetak level tertingginya saat ini.

Ini menunjukkan bahwa logika lama sudah berubah, kini harga emas lebih ditentukan oleh faktor kepercayaan, geopolitik, dan stabilitas fiskal global, bukan semata oleh pergerakan suku bunga atau dolar AS.

Sejarah Kenaikan Harga Emas: Dari Bretton Woods ke Era Ketidakpastian Global

Reli kenaikan harga emas kali ini pun mengingatkan pada momen-momen kenaikan emas yang pernah terjadi.

Salah satu yang paling bersejarah terjadi pada 1971 silam, ketika Presiden AS Richard Nixon memutus keterikatan dolar AS dengan emas dan menyudahi perjanjian Bretton Woods.

Dalam perjanjian tersebut, nilai tukar antar mata uang utama di dunia dipatok terhadap dolar AS dan dolar sendiri dijamin dapat ditukar dengan emas pada harga tetap yakni US$35 per troy ons.

Namun ketika Nixon menutup perjanjian ini pada 15 Agustus 1971, sistem moneter global pun beralih ke era nilai tukar floating dan emas pun mulai menjadi aset yang statusnya bebas dari sistem keuangan global.

Sejak saat itu pun, harga emas dunia mulai melonjak dari US$35 pada 1971 hingga naik ke US$835 di akhir 1980. Namun,harga emas kembali terkoreksi hingga akhir 1990an berada di level US$280 di awal 200an sebelum akhirnya kembali menanjak ke atas US$2.000 per troy ons setelah krisis keuangan global pada 2008 yang disebabkan oleh kejatuhan sektor properti di AS.

Setiap periode kenaikan yang signifikan pada harga emas, umumnya bertepatan dengan ketidakstabilan makroekonomi atau hilangnya kepercayaan terhadap kebijakan moneter di global.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |