REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga think-tank Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai hidrogen hijau dapat berkontribusi pada upaya pemangkasan emisi dan dekarbonisasi global. Menurut IESR Hidrogen dapat menggantikan bahan bakar fosil di sektor-sektor yang sukar untuk dipangkas emisinya seperti transportasi, manufaktur besi dan baja, petrokimia, dan penyimpan energi.
Dalam pernyataannya, Kamis (18/9/2025) lalu, menurut IESR hidrogen hijau juga dapat meningkatkan ketahanan energi dengan menyediakan energi terbarukan yang stabil dari sumber energi terbarukan setempat, khususnya angin dan surya. Sumber energi ini juga dapat menurunkan ketergantungan pada impor energi fossil.
Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan produksi hidrogen global tumbuh pesat, melampaui permintaan dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Hydrogen Council, hingga 2025 kapasitas hidrogen bersih yang sudah dikomitmenkan mencapai lebih dari 6 juta ton per tahun, sementara permintaan baru sekitar 3,6 juta ton per tahun.
Saat ini sudah lebih dari 110 miliar dolar AS yang dikomitmenkan untuk lebih dari 500 proyek hidrogen di dunia, baik dalam tahap final investment decision (FID), tahap konstruksi maupun operasi. Jumlah proyek hidrogen sejak 2020 meningkat 7,5 kali lipat. Meski begitu, sekitar 3 persen proyek dibatalkan dalam 18 bulan terakhir akibat ketidakpastian kebijakan dan pasar yang belum terbentuk.
“Kondisi ini adalah bagian dari dinamika pasar yang sehat. Sama seperti energi surya, angin, atau baterai di masa awal, pertumbuhan sektor hidrogen juga melalui fase turbulensi di awal. Proyek yang berkelanjutan adalah yang memiliki model bisnis jelas, dan dukungan kebijakan yang kuat,” ujar Fabby dalam webinar pekan lalu.
Fabby mengatakan fokus pengembangan hidrogen hijau tidak hanya pada membangun kapasitas produksi, melainkan juga memastikan bertumbuhnya permintaan dan pasar, dan model bisnis yang menarik untuk mendapatkan pembiayaan (bankable) dengan kebijakan dan regulasi serta insentif yang memadai.
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, energi surya, angin, air, hingga biomassa yang dapat menjadi modal utama untuk produksi hidrogen hijau. Berdasarkan Peta Jalan Hidrogen dan Ammonia Nasional, permintaan hidrogen Indonesia diproyeksikan mencapai 11,7 juta ton per tahun pada 2060, sementara potensi produksinya bisa menembus 17,5 juta ton per tahun. Ini menempatkan Indonesia bukan hanya sebagai konsumen, tetapi juga berpeluang menjadi eksportir hidrogen bersih.