Jenderal Besar Soeharto, Kepahlawanan, dan Ingatan Bangsa

4 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting*

Perdebatan mengenai wacana penetapan almarhum Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mengemuka. Terutama menjelang peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2025. Seperti biasa, perbincangan ini menimbulkan gelombang pro dan kontra.

Sebagian pihak menilai Soeharto layak diberi penghargaan tertinggi negara atas jasa-jasanya dalam menjaga stabilitas, membangun ekonomi nasional, dan mengangkat martabat Indonesia di dunia internasional. Namun, kelompok lain menolak keras, menilai Soeharto tidak pantas karena dianggap bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan praktik otoritarianisme selama 32 tahun kekuasaannya.

Perdebatan ini lebih dari sekadar soal penghargaan anumerta. Ia adalah pertempuran memori kolektif bangsa tentang bagaimana kita memahami masa lalu, menilai kepemimpinan, dan menegaskan nilai-nilai yang ingin dijunjung tinggi dalam sejarah nasional.

Jejak dua presiden besar

Bangsa Indonesia berutang banyak kepada dua figur kontroversial yang mendefinisikan dua babak sejarah berbeda, yakni: Sukarno dan Soeharto. Sukarno adalah arsitek kemerdekaan, sang orator yang membangkitkan kesadaran nasional, membentuk fondasi ideologis bangsa melalui Pancasila dan semangat anti-kolonialisme. Sementara Soeharto, sang jenderal yang berkarakter tenang dan pragmatis, mengambil tongkat estafet kepemimpinan ketika negara berada di ambang kehancuran.

Pasca-1965, Indonesia menghadapi kekacauan ekonomi dengan inflasi yang melampaui 600 persen, kekurangan pangan, dan instabilitas politik yang parah. Dalam situasi demikian, Jenderal Soeharto tampil sebagai figur yang mampu memulihkan keteraturan dan menstabilkan negara.

Melalui serangkaian kebijakan ekonomi berorientasi pembangunan, Soeharto membentuk Orde Baru dengan fokus utama: stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan modernisasi nasional. Ia menggandeng kelompok teknokrat yang dikenal sebagai Mafia Berkeley, untuk merancang Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan membuka diri terhadap investasi asing. Dalam dua dekade, Indonesia bertransformasi dari negara agraris yang miskin menjadi negara berkembang dengan kemajuan pesat di bidang infrastruktur, pendidikan, dan pangan.

Pencapaian monumental seperti swasembada beras pada 1984, program Inpres Desa Tertinggal, pembangunan jalan dan irigasi, serta peningkatan angka melek huruf menjadi tonggak sejarah yang tak dapat dihapus. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia kala itu, Orde Baru identik dengan kemajuan dan keteraturan.

Sisi gelap kekuasaan dan luka kolektif

Namun, sejarah tidak bisa dibaca sepihak. Di balik stabilitas dan kemakmuran yang dibangun Soeharto, tersimpan pula jejak kelam kekuasaan yang represif. Peristiwa 1965–1966 yang menjadi pintu masuk kekuasaan Orde Baru, meninggalkan trauma mendalam bagi bangsa ini. Diduga ratusan ribu orang tewas dalam pembantaian anti-komunis, dan jutaan lainnya dicap sebagai eks-PKI serta kehilangan hak sipilnya selama puluhan tahun.

Dalam tiga dekade berikutnya, Orde Baru mengontrol ketat kehidupan politik. Hanya ada tiga partai, yakni Golkar, PPP, dan PDI, dengan ruang demokrasi yang nyaris beku. Kritik terhadap pemerintah bisa berujung pada pemenjaraan, pengasingan, atau penculikan. Kebebasan pers dibatasi melalui sistem “Surat Izin Usaha Penerbitan Pers” (SIUPP).

Di akhir masa kekuasaan, skandal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menodai reputasi pemerintahan Soeharto. Transparency International pada 2004 bahkan menempatkannya sebagai salah satu pemimpin paling korup di dunia. Runtuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998 menandai babak baru demokrasi Indonesia, tetapi sekaligus membuka kembali luka sejarah yang belum seluruhnya sembuh.

Rekonsiliasi dan ingatan

Rencana mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional bukan hanya soal menilai jasa, melainkan juga menentukan cara bangsa ini menghadapi masa lalunya. Ada dua pendekatan yang kerap berhadapan, yakni: politik rekonsiliasi dan politik ingatan.

Politik rekonsiliasi menekankan pentingnya memaafkan, mengakui kesalahan masa lalu, dan melangkah ke depan demi persatuan bangsa. Dalam kerangka ini, pengakuan terhadap jasa Soeharto tidak dimaksudkan untuk menghapus kesalahan, melainkan untuk menempatkannya secara proporsional dalam perjalanan sejarah bangsa.

Sebaliknya, politik ingatan menuntut kejujuran sejarah: bahwa bangsa ini tidak boleh menutupi luka, dan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) tidak bisa dihapus dengan pembangunan ekonomi semata. Pandangan ini menilai bahwa pemberian gelar pahlawan nasional berisiko mengaburkan tanggung jawab moral dan sejarah.

Kedua pandangan tersebut sama-sama lahir dari kecintaan terhadap bangsa. Namun, bangsa yang matang bukanlah bangsa yang terus-menerus hidup dalam dendam, melainkan bangsa yang berani mengakui kompleksitas sejarahnya. Mengakui jasa tanpa menafikan dosa, mengingat kesalahan tanpa menolak pengampunan.

Otoritarianisme dan kepahlawanan

Indonesia bukan satu-satunya negara yang berhadapan dengan dilema semacam ini. Banyak bangsa lain yang memiliki pemimpin otoriter dengan jasa besar bagi pembangunan nasional.

Di Spanyol, Jenderal Francisco Franco memerintah dengan tangan besi selama lebih dari tiga dekade. Ia menstabilkan negara pasca-perang saudara, namun juga menindas oposisi dengan kekerasan. Setelah kematiannya, bangsa Spanyol sempat terbelah antara mereka yang ingin mengenangnya sebagai penyelamat dan mereka yang menuntut penghapusan simbol-simbol kekuasaannya. Pada 2019, pemerintah akhirnya memindahkan jasad Franco dari kompleks “Lembah Para Pahlawan” untuk menegaskan bahwa negara tidak menormalisasi otoritarianisme.

Di Korea Selatan (Korsel), Presiden Jenderal Park Chung-hee menghadapi dilema serupa. Ia mengubah Korsel dari negara miskin menjadi negara industri maju. Namun, ia juga dikenal represif terhadap kebebasan politik. Hingga kini, bangsa Korea tetap mengenang Jenderal Park sebagai pahlawan pembangunan, meskipun tidak menutup mata terhadap sisi gelap pemerintahannya.

Pelajaran dari negara-negara ini menunjukkan bahwa kepahlawanan bukan soal kesempurnaan, melainkan tentang seberapa besar warisan positif seorang tokoh bagi bangsanya. Bangsa yang dewasa bisa menilai sejarah secara utuh tanpa terjebak dalam romantisme atau dendam.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |