Kenapa Ada Paksaan Program Lumbung Desa di Grobogan?

5 hours ago 1

Kendeng 2025-09-24 09:09:14

Masyarakat Baduy masih memanfaatkan lumbung untuk menyimpan padi. Dulu, di Grobogan, lumbung desa menjadi program paksaan pemerintah kolonial. Sumber: priyantono oemar

Lumbung desa dibangun oleh pemerintah kolonial agar para petani berhemat dengan padi hasil panen mereka. Dengan begitu, ketika terjadi paceklik, tidak akan kekurangan bahan pangan.

Namun, mengapa di Batang, program lumbung desa tak laku? Mengapa di Grobogan, para petani mendapat paksaan agar menjalankan program lumbung desa itu?

Untuk membangun lumbung desa di Grobogan, Asisten Residen Semarang untuk Grobogan, WF Lutter, mempelajari sistem lumbung desa di Karesidenan Cirebon. Petani menyerahkan padi hasil panen ke lumbung, lalu meminjamnya untuk dijadikan benih saat musim panen tiba dengan bunga 50 persen.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Di Cirebon, misalnya, pada 1904 simpanan padi di lumbung desa mencapai sekitar 146 ribu pikul. Sebanyak 44.509 pikul digunakan untuk benih, 44.460 pikul untuk biaya pengolahan sawah, dan 55.282 pikul untuk cadangan jika terjadi paceklik.

Di Batang, air berlimpah, sehingga para petani bisa menanam padi dengan leluasa. Panen juga berlimpah, sehingga harga padi di Batang stabil.

Di Grobogan, pada 1900-1901 terjadi paceklik. Bencana kelaparan ini telah membuat sengsara penduduk Grobogan.

Wabah penyakit juga menyerang ternak untuk bajak. Jadi, ketika harus mengolah sawah, para petanikekurangan tenaga kerja. Kerbau sedikit, orang dewasa juga lemah tenaganya karena kelaparan.

Namun, salah satu rekomendasi komisi penyelidik adalah meminta parapetani berhemat padi. Tujuannya agar mereka memiliki simpanan padi untuk benih, untuk biaya pengolahan sawah, danuntuk cadangan saat paceklik.

Jika tak memiliki simpanan padi, mereka akan meminjam ke rentenir untuk membeli benih dan biaya mengolah sawah. Bunga rentenir cukup tinggi, sehingga semakin membuat penduduk Grobogan terpuruk.

Bencana kelaparan sering terjadi Grobogan. Yang paling parah terjadi pada tahun 1849-1850.

Tahun-tahun berikutnya, bencana kelaparan juga masih terjadi. Hal itu memunculkan anggapan bahwa pemerintah kolonial mengabaikan Grobogan.

Koran De Nieuwe Courant menyebutnya sebagai “telah lama terabaikan”. Itu sebabnya, koran itu tidak mengutuk tindakan Asisten Residen Semarang untuk Grobogan, WF Lutter, yang melakukan paksaan di Grobogan untuk menjalankan program lumbung desa.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini

Image

[email protected]

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |