REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Libur Natal dan Tahun Baru selalu membawa dua arus yang beriringan: kegembiraan keluarga yang berkumpul, wisatawan yang tertawa di pantai, dan di balik itu semua, kewaspadaan diam-diam para petugas yang tak pernah benar-benar libur.
Di Nusa Tenggara Barat, akhir tahun terasa lebih berat. Pulau yang indah ini bukan hanya destinasi impian, tapi juga rumah bagi ribuan warga yang tahu betul betapa cepatnya alam bisa berubah wajah.
Musim hujan 2025–2026 tiba bersamaan dengan lonjakan pengunjung. Hujan deras, angin kencang, gelombang tinggi, semua datang saat orang-orang paling banyak bepergian, paling banyak berkumpul di tempat yang sama.
Bagi seorang ibu di Lombok Utara yang rumahnya pernah longsor, kesiapsiagaan bukan sekadar berita di televisi, melainkan doa setiap malam agar anak-anaknya bisa tidur nyenyak.
NTB memang rentan. Pegunungan curam, sungai yang mudah meluap, pantai yang ramai, dan desa wisata yang tiba-tiba penuh sesak, semua itu membuat satu hujan lebat bisa menjadi cerita yang berbeda bagi banyak orang.
Libur panjang justru memperbesar risiko itu. Saat ribuan wisatawan memadati Gili atau Mandalika, satu titik kecil bisa berubah menjadi kerumunan besar dalam sekejap.
Cuaca ekstrem kini datang dengan pola baru yang sulit ditebak. BMKG mencatat fenomena-fenomena atmosfer yang saling berkaitan, menghasilkan hujan yang tak lagi mengikuti musim lama.
Longsor yang dulu hanya dikenal di utara Lombok, kini mulai mengancam selatan karena lahan hijau semakin berkurang demi pembangunan.
Banjir tak lagi hanya milik hulu sungai. Kota Mataram kini sering kebanjiran karena air tak punya tempat meresap, ditambah sampah yang menyumbat dan rob yang naik dari laut.
Semua ini bukan lagi sekadar bencana alam murni. Ia menjadi bencana yang kita ciptakan sendiri: pohon ditebang, sampah dibuang sembarangan, bangunan didirikan tanpa memikirkan air akan mengalir ke mana.
Ketika hujan turun, air mencari jalan paling cepat, dan sering kali jalan itu adalah rumah-rumah warga yang tak pernah menduga.
Libur panjang membuat semuanya terasa lebih genting. Saat pantai penuh, jalur pendakian ramai, dan desa wisata dipadati, alam sedang diuji pada saat yang paling ramai.
Di balik semua itu, NTB menyambut akhir tahun dengan kesiapsiagaan yang lebih hidup. Banyak daerah menetapkan status siaga, posko dibuka 24 jam, personel gabungan berjaga di titik-titik rawan.
Langkah ini memberi rasa aman bagi seorang ayah yang mengantar keluarganya berlibur, tahu bahwa ada orang-orang yang tetap waspada saat dia tertawa bersama anak-anaknya.
Namun kesiapsiagaan sejati bukan hanya apel dan pengerahan pasukan. Ia ada pada koordinasi yang lancar antar-daerah, antar-instansi, karena bencana tak pernah menghormati batas administratif.
Hujan di hulu bisa membuat banjir di kota, cuaca buruk di laut bisa membahayakan nelayan kecil yang mencari nafkah untuk keluarga di darat.
Tempat wisata menjadi ujian paling nyata. Di Mandalika, Gili Tramena, atau pantai-pantai Lombok Tengah, ribuan orang berkumpul, dan evakuasi harus bisa dilakukan tanpa panik.
Rencana kontingensi bukan lagi kertas di laci, tapi panduan hidup yang dipahami semua pihak, dari petugas hingga pedagang kaki lima di tepi pantai.
Posko siaga di kota-kota besar kini lebih responsif, menunggu laporan warga yang bisa menjadi detik-detik penentu nyawa seseorang.
Masyarakat selalu menjadi yang pertama merasakan getar bencana. Karena itu, peran warga sebagai garda terdepan tak bisa digantikan oleh siapa pun.
Pengalaman gempa 2018 masih membekas di hati banyak orang NTB. Ingatan itu seharusnya menjadi kekuatan untuk terus belajar, berlatih, dan mengajarkan anak-anak cara selamat.
Kebencanaan yang inklusif juga penting. Penyandang disabilitas, lansia, anak kecil, mereka yang sering terlupakan perlu mendapat perhatian khusus agar tak ada yang tertinggal.

2 hours ago
1












































