REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Konsumsi keju dan krim tinggi lemak disebut berpotensi memberikan perlindungan ringan terhadap risiko demensia. Temuan tersebut terungkap dalam sebuah studi observasional yang melibatkan hampir 28 ribu orang di Malmö, Swedia, yang dipantau selama 25 tahun.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Neurology itu menemukan, peserta yang mengonsumsi sedikitnya 50 gram keju tinggi lemak per hari memiliki risiko demensia 13 persen lebih rendah dibandingkan mereka yang mengonsumsi kurang dari 15 gram. Sementara itu, konsumsi krim tinggi lemak minimal 20 gram per hari dikaitkan dengan penurunan risiko demensia sebesar 16 persen.
Keju tinggi lemak yang dimaksud antara lain cheddar, Brie, dan Gouda, yang mengandung lebih dari 20 persen lemak jenuh.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa orang yang mengonsumsi lebih banyak keju tinggi lemak memiliki risiko sedikit lebih rendah untuk mengalami demensia di kemudian hari,” ujar penulis senior studi tersebut, Emily Sonestedt, dosen senior dan profesor nutrisi di Universitas Lund, Swedia, dikutip dari CNN, Ahad (28/12/2025).
Namun Sonestedt menegaskan, temuan ini tidak membuktikan bahwa keju dapat mencegah demensia. “Hasil ini menantang anggapan bahwa semua produk susu tinggi lemak buruk bagi kesehatan otak,” katanya melalui surat elektronik.
Meski demikian, sejumlah pakar gizi dan kesehatan mengingatkan agar temuan tersebut tidak ditafsirkan secara berlebihan. Profesor epidemiologi dan nutrisi dari Harvard TH Chan School of Public Health, Dr. Walter Willett, menilai hasil studi itu berada di batas signifikansi statistik.
“Temuan untuk keju hanya sedikit signifikan secara statistik, dan mereka meneliti banyak jenis makanan. Bisa saja ini terjadi karena faktor kebetulan,” kata Willett. Ia bahkan menegaskan tidak serta-merta akan meningkatkan konsumsi keju.
Keterbatasan lain dari studi ini adalah pengambilan data pola makan yang hanya dilakukan pada awal penelitian, yakni tahun 1991. Mayoritas peserta tidak dipantau kembali perubahan pola makannya selama 25 tahun berikutnya. Analisis lanjutan yang dilakukan pada sebagian kecil peserta setelah lima tahun justru menunjukkan hubungan antara keju dan krim tinggi lemak dengan demensia menjadi tidak signifikan.
Hal ini disoroti oleh Dr Tian-Shin Yeh, dosen dan dokter di Fakultas Kedokteran Taipei Medical University, Taiwan, dalam editorial yang diterbitkan bersamaan dengan studi tersebut. Menurutnya, temuan itu menimbulkan pertanyaan terkait kekuatan kesimpulan penelitian.
Yeh juga mencatat, manfaat keju tinggi lemak paling terlihat ketika makanan tersebut menggantikan bahan pangan dengan kualitas gizi lebih rendah, seperti daging merah olahan dan berlemak tinggi. “Bukan berarti keju tinggi lemak secara inheren melindungi otak, melainkan karena ia lebih tidak berbahaya dibandingkan daging merah dan olahan,” ujarnya.
Padahal, berbagai penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa makanan tinggi lemak jenuh berkontribusi terhadap penyakit jantung dan peningkatan risiko kematian dini.
Penelitian ini juga menemukan bahwa mentega, susu, produk susu fermentasi seperti yogurt dan kefir, serta produk susu rendah lemak tidak memberikan manfaat serupa terhadap kesehatan otak.
Ahli kedokteran preventif dan gaya hidup, Dr David Katz, menilai data tersebut justru menunjukkan kelompok konsumen produk susu rendah lemak memiliki beban penyakit kronis lebih tinggi sejak awal, seperti diabetes dan penyakit jantung. Menurutnya, pemilihan produk rendah lemak bisa jadi merupakan strategi perlindungan diri bagi mereka yang sudah memiliki risiko kesehatan lebih besar.
Faktor lain yang dinilai memengaruhi hasil penelitian adalah perbedaan sistem peternakan. Ahli saraf dari Institute for Neurodegenerative Diseases, Florida, Dr Richard Isaacson, menyebut sapi perah di Swedia umumnya diberi pakan rumput, sehingga produk susunya mengandung lebih banyak asam lemak omega-3 yang dikenal baik untuk otak.
Meski begitu, Isaacson menilai hasil penelitian ini masih membingungkan, terutama karena perlindungan justru lebih terlihat pada individu tanpa gen APOE4, yang biasanya berisiko lebih rendah terhadap Alzheimer. “Saya tertarik, tapi tidak akan menyarankan orang mengonsumsi keju tinggi lemak untuk mencegah Alzheimer,” katanya.
Sonestedt pun mengakui bahwa temuan tersebut belum tentu berlaku di negara lain, termasuk Amerika Serikat. “Jenis keju yang dikonsumsi berbeda. Di Swedia kebanyakan keju keras dan difermentasi, sementara di AS lebih banyak keju olahan atau keju dalam makanan cepat saji,” ujarnya.
Ia menambahkan, penelitian lanjutan di berbagai negara dan populasi masih diperlukan sebelum kesimpulan yang lebih pasti dapat ditarik.

2 hours ago
1














































