Menyelamatkan Ruh Pendidikan dari Krisis Makna: Refleksi atas Kasus Kepsek Cimarga dan Narasi Media

3 hours ago 1

Oleh: Nur Hadi Ihsan, Dosen Universitas Darussalam Gontor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua peristiwa yang baru-baru ini ramai diperbincangkan — seorang kepala sekolah yang kehilangan jabatannya sementara karena menampar muridnya yang ketahuan merokok, dan tayangan televisi yang menggambarkan kehidupan pesantren dengan nada sinis — tampak seolah tak berhubungan. Namun jika dibaca dengan mata batin pendidikan, keduanya sesungguhnya memperlihatkan wajah yang sama: retaknya makna cinta, adab, dan ketulusan dalam dunia pendidikan kita.

Dilema Seorang Pendidik: Antara Hukum dan Nurani

Kisah Bu Dini Pitria, Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga di Lebak, Banten, menyentuh sisi terdalam dari dilema seorang pendidik. Ia terlibat dalam peristiwa peneguran keras terhadap murid yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah.

Tindakan itu berujung pada laporan hukum dan penonaktifan sementara dari jabatannya. Kini, setelah proses klarifikasi dan pemeriksaan, Bu Dini telah diaktifkan kembali sebagai kepala sekolah.

Peristiwa ini menggambarkan betapa rumitnya posisi seorang pendidik ketika harus menyeimbangkan antara tanggung jawab moral, tuntutan hukum, dan tekanan publik. Di hadapan hukum, setiap tindakan memiliki konsekuensi; sementara di hadapan nurani, ada niat yang tak selalu mudah dijelaskan. Bu Dini pun menunduk, mengakui kekeliruannya, dan dengan rendah hati menerima sanksi itu.

Sikap tersebut memperlihatkan kualitas moral seorang pendidik sejati: berani bertanggung jawab atas tindakannya tanpa menyalahkan siapa pun. Ia mungkin kehilangan kewenangan untuk sementara, tetapi tidak kehilangan martabat sebagai guru yang peduli pada karakter anak didiknya.

Ketika Media Mengubah Makna

Peristiwa kedua datang dari tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang menyoroti kehidupan pesantren dengan cara yang memantik kontroversi. Dalam tayangan itu, Bu Nyai yang memberi hadiah susu kepada santri digambarkan seolah mempermainkan, sementara para santri yang membersihkan rumah kiai dipotret sebagai simbol feodalisme. Bahkan, kehidupan kiai direduksi menjadi potret kemewahan dan kepemilikan materi — seolah pesantren telah kehilangan kesucian dan kesederhanaannya.

Narasi semacam ini, disadari atau tidak, telah membentuk opini publik yang menggerus kepercayaan terhadap lembaga pesantren. Dunia yang selama ini menjadi benteng moral bangsa diproyeksikan sebagai ruang eksploitatif yang kehilangan nilai. Padahal, siapa pun yang pernah hidup di pesantren tahu, tindakan mencium tangan kiai atau membantu di rumah guru dan kiai bukanlah bentuk perendahan, melainkan latihan spiritual untuk menundukkan ego, melatih adab, dan menumbuhkan keikhlasan.

Namun media modern jarang memberi ruang bagi konteks batiniah semacam itu. Ia hidup dari potongan visual, bukan dari kedalaman makna. Di sinilah terjadi pelecehan yang lebih halus — pelecehan terhadap ruh pendidikan itu sendiri.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |