Jakarta, CNBC Indonesia - Iran kini menghadapi salah satu krisis lingkungan paling mematikan dalam sejarahnya. Ibu Kota Tehran diselimuti kabut asap tebal pada hari Jumat (21/11/2025) akibat cuaca kering yang terus menerus dan kekeringan parah.
Mengutip Newsweek, lonjakan udara kotor terjadi di enam kota besar. Di Tehran, tingkat rata-rata particulate matter halus (PM2.5) mencapai 103, dengan puncak pagi mencapai 133, yang tergolong "tidak sehat untuk kelompok sensitif."
Dampak kesehatan dari polusi udara sangat mengerikan. Wakil Menteri Kesehatan Iran melaporkan bahwa polusi udara telah merenggut 161 jiwa per hari, setara dengan sekitar tujuh orang setiap jam, selama tahun kalender Iran yang dimulai Maret 2024, dengan total 58.975 kematian.
Pejabat Organisasi Meteorologi Nasional Iran Sadegh Ziaian mengatakan pada hari Jumat bahwa kondisi ini akan menjadi sesuatu yang terus terjadi.
"Langit Teheran akan tetap cerah dengan kabut lokal, dan udara akan mencapai tingkat yang tidak sehat untuk semua kelompok," tegasnya.
Krisis lingkungan di Iran semakin rumit karena saling terkaitnya masalah udara, air, dan energi. Menurunnya cadangan air akibat kekeringan telah membatasi produksi pertanian, menimbulkan kekhawatiran luas tentang ketahanan pangan di kawasan yang rantai pasokannya saling terkait.
Selain itu, kekurangan pasokan gas memaksa otoritas menerapkan penjatahan listrik dan pemadaman berkala, sementara kelangkaan air juga menyebabkan penjatahan di beberapa bagian Tehran. Otoritas mengutip emisi industri, lalu lintas padat dari kendaraan tua, dan pembakaran bahan bakar berkualitas rendah di pembangkit listrik sebagai sumber utama polusi kronis.
Konvergensi polusi, kelangkaan air, dan masalah infrastruktur ini memperdalam kesulitan ekonomi dan secara tajam mempertajam kerentanan politik negara tersebut. Tekanan lingkungan telah menjadi katalisator persisten bagi frustrasi publik, berkontribusi pada kerusuhan berkala di komunitas yang paling terpukul oleh kekeringan dan penurunan layanan publik.
Menanggapi situasi darurat ini, pihak berwenang di Tehran, Isfahan, Mashhad, dan kota-kota lain merespons dengan mengeluarkan peringatan kesehatan dan pembatasan darurat. Langkah-langkah tersebut meliputi larangan 24 jam untuk penambangan pasir dan kerikil, penangguhan kegiatan olahraga sekolah, serta penerapan kerja jarak jauh bagi pegawai dengan kondisi pernapasan atau jantung.
Meskipun demikian, masalah mendasar tetap belum terpecahkan. Presiden Iran Masoud Pezeshkian bahkan memperingatkan bahwa relokasi ibu kota mungkin menjadi langkah yang tidak terhindarkan karena masalah kepadatan penduduk dan tekanan ekologis yang terus meningkat.
Pezeshkian menyarankan wilayah Iran tenggara sebagai lokasi potensial relokasi ibu kota. Meski begitu, ia tetap meminta warga menjaga lingkungan.
"Melindungi lingkungan bukanlah lelucon. Mengabaikannya berarti menandatangani kehancuran kita sendiri," ujarnya.
(tps/luc)
[Gambas:Video CNBC]

21 minutes ago
1

















































