Setiap kali pembagian rapor tiba, ada satu pertanyaan yang selalu muncul: Apakah nilai tinggi benar-benar menentukan masa depan seseorang? Atau jangan-jangan, kita hanya terjebak dalam perlombaan angka yang tak pernah selesai?
Di era yang sudah mengalami banyak perkembangan ini, masih banyak orang beranggapan bahwa nilai adalah penanda utama tingkat kecerdasan seseorang. Siswa yang nilainya tinggi pasti mendapat pujian, sementara yang nilainya rendah sering dicap tidak berusaha. Padahal, realitanya jauh lebih kompleks.
Banyak siswa mengejar nilai bukan karena niat sungguh-sungguh ingin belajar, melainkan karena takut mengecewakan, bahkan takut dibandingkan. Akhirnya, belajar tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan. Justru dianggap sebagai bentuk pertahanan dari tekanan yang tidak pernah berhenti.
Sebaliknya, tidak sedikit siswa yang sebenarnya memiliki bakat besar justru 'tenggelam' karena kemampuan mereka tidak muncul dalam bentuk angka. Ada yang memiliki keterampilan dalam berkomunikasi, kreatif, dan ada pula yang memiliki jiwa kepedulian sosial yang tinggi. Namun, semua itu jarang dihargai selama tidak terlihat di rapor.
Faktanya, nilai tinggi memang bisa membuka lebar peluang seseorang menjadi lebih sukses. Hal ini dibuktikan dengan adanya persyaratan masuk kampus hingga beasiswa yang masih memerlukannya. Akan tetapi, apakah nilai tinggi otomatis mampu menjamin masa depan yang lebih baik? Jawabannya tidak selalu.
Ketika sudah berada di kampus dan bertemu banyak orang, saya melihat bahwa kemampuan adaptasi, komunikasi, dan keberanian untuk mencoba hal baru jauh lebih menentukan daripada sekadar angka. Bahkan, di dunia kerja hampir tidak ada yang menanyakan nilai rapor. Justru hal yang menjadi perhatian utama adalah karakter, etika, dan tentunya kemampuan bekerja dengan orang lain.
Sayangnya, banyak siswa kini sibuk mengejar checklist: nilai tinggi, sertifikat lomba, CV bagus, dan segala hal yang dianggap sebagai standar sukses. Semua dipaksa untuk dikejar bersamaan, hingga sering kali membuat kita lupa pada inti pendidikan: menjadi manusia yang terus tumbuh dan belajar menjadi lebih baik.
Pada akhirnya, angka hanyalah angka. Nilai bisa naik turun dalam kurun waktu yang sangat cepat. Rangking juga pasti bisa berubah kapan saja. Tetapi, bagaimana cara kita bisa menghadapi masalah serta seberapa besar keinginan untuk tetap belajar, itulah yang bisa bertahan lama. Sebab semestinya, belajar itu bukanlah perlombaan.
Mungkin, sudah saatnya kita bertanya kembali pada diri sendiri: Untuk siapa sebenarnya kita belajar? Untuk memenuhi ekspetasi orang lain, atau untuk membangun masa depan yang benar-benar kita inginkan?. Masa depan dibentuk oleh cara kita berkembang, bukan semata oleh angka. Nilai hanya satu komponen kecil, bukan fondasi utama.
Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, saya berharap teman-teman tidak kehilangan kebahagiaan belajar hanya karena takut dinilai. Ia hanya membantu kita dalam menavigasi pendidikan, tetapi tidak menentukan seluruh masa depan kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

2 hours ago
1














































