Metsa Prianggraeni
Politik | 2025-12-12 13:08:37
Ilustrasi Makna Sila-Sila Pancasila. Sumber: Unsplash/Mufid Majnun
Di kampus, saya sering menemukan ironi sederhana: banyak teman yang bisa menghafal lima sila Pancasila dengan lancar, tetapi ketika ditanya apa makna “Keadilan Sosial” dalam kehidupan sehari-hari, ruangan mendadak hening. Ada pula yang lantang menyebut “Bhinneka Tunggal Ika”, namun merasa risih duduk bersama teman berbeda agama atau etnis. Seolah-olah nilai dasar bangsa ini berhenti di dinding kelas, bukan diteruskan ke cara berpikir dan bertindak.
Di sinilah letak urgensi Pendidikan Pancasila bukan sebagai mata kuliah yang harus dituntaskan, tetapi sebagai fondasi untuk membentuk warga negara yang matang, toleran, dan mampu hidup dalam keberagaman yang menjadi DNA Indonesia.
Pancasila: Pedoman Moral yang Mulai Terasa Asing
Kita hidup di era percepatan informasi: perdebatan ideologis di media sosial bercampur dengan noise, prasangka, dan polarisasi yang seolah tidak lagi mengenal batas. Dalam situasi seperti ini, Pancasila sebenarnya bukan slogan historis, tetapi “kompas moral” yang justru semakin relevan.
Nilai Ketuhanan, misalnya, seharusnya mengajarkan kita saling menghormati keyakinan orang lain bukan merasa paling benar. Nilai Kemanusiaan menuntut kita lebih peka terhadap ketidakadilan, bukan abai. Persatuan Indonesia menuntun kita menurunkan ego kelompok demi kepentingan bangsa. Dan Kerakyatan mengingatkan agar keputusan politik berpihak pada kearifan bersama, bukan pada elit semata.
Sayangnya, nilai-nilai itu sering tereduksi menjadi hafalan tanpa penghayatan. Kita sibuk memuji Pancasila, tapi lupa mempraktikkannya.
UUD 1945 dan NKRI: Rumah Bersama yang Harus Kita Jaga
Pancasila tidak berdiri sendiri. Ia dipayungi oleh UUD 1945, yang menjadi kontrak sosial kita sebagai bangsa. Di dalamnya terdapat jaminan kebebasan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap semua warga negara. Namun, banyak di antara kita khususnya generasi muda jarang membaca langsung konstitusi tersebut. Tidak heran jika isu-isu seperti hak warga negara, peran lembaga negara, atau batas-batas kekuasaan pemerintah sering disalahpahami.
Sementara itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan sekadar slogan yang diteriakkan saat upacara. Ia adalah kesepakatan panjang bahwa kita ingin bersatu, meski berbeda. NKRI adalah ruang hidup bersama yang harus dijaga melalui keadilan sosial, tata pemerintahan yang bersih, dan partisipasi warga negara yng kritis namun konstruktif.
Tanpa pemahaman konstitusional yang kuat, cinta NKRI mudah terjebak pada retorika, bukan kesadaran.
Bhinneka Tunggal Ika: Nilai yang Sering Dirayakan, Jarang Dihidupkan
Sebagai mahasiswa, saya merasakan betapa keberagaman Indonesia adalah kekayaan sekaligus tantangan. Pergaulan kampus mempertemukan saya dengan teman-teman dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Namun saya juga melihat bagaimana prasangka, stereotip, bahkan diskriminasi halus masih muncul, baik dalam percakapan sehari-hari maupun di ruang digital.
Padahal, semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah identitas kolektif yang membuat Indonesia berbeda dari negara mana pun. Tugas Pendidikan Pancasila adalah memastikan semboyan itu tidak berhenti menjadi jargon, tetapi menjadi cara kita memandang sesama manusia.
Mengapa Pendidikan Pancasila Harus Diajarkan Lagi dengan Cara yang Baru bagi saya, tantangan terbesar bukan pada isi nilai Pancasila, melainkan cara kita mengajarkannya. Jika Pendidikan Pancasila hanya berisi ceramah satu arah dan pengulangan materi lama, mahasiswa akan merasa bosan dan menganggapnya tidak relevan.
Padahal, semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah identitas kolektif yang membuat Indonesia berbeda dari negara mana pun. Tugas Pendidikan Pancasila adalah memastikan semboyan itu tidak berhenti menjadi jargon, tetapi menjadi cara kita memandang sesama manusia.
Mengapa Pendidikan Pancasila Harus Diajarkan Lagi dengan Cara yang Baru
Bagi saya, tantangan terbesar bukan pada isi nilai Pancasila, melainkan cara kita mengajarkannya. Jika Pendidikan Pancasila hanya berisi ceramah satu arah dan pengulangan materi lama, mahasiswa akan merasa bosan dan menganggapnya tidak relevan.
Padahal, ada banyak cara agar pendidikan ini hidup dan dekat:
• Mengaitkan nilai Pancasila dengan isu nyata: kemiskinan, intoleransi, polarisasi politik, disinformasi.
• Menggunakan diskusi, debat, dan studi kasus, bukan sekadar hafalan.
• Mengajak mahasiswa berpraktik, misalnya lewat kegiatan sosial atau proyek kampus tentang toleransi dan gotong royong.
• Menghadirkan dosen yang tidak hanya paham teori, tetapi mampu menjadi teladan etika.
Pancasila hanya bisa dipahami jika dialami bukan hanya dipelajari. Saatnya Kembali Menjadi Indonesia
Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa masa depan bangsa ini ditentukan bukan oleh kecanggihan teknologi semata, tetapi oleh karakter warganya. Pendidikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika adalah fondasi yang harus terus diperbarui cara pengajarannya agar tidak kehilangan makna.
Jika generasi muda mampu menjadikan nilai-nilai ini sebagai orientasi hidup, maka Indonesia tidak hanya akan bertahan tetapi juga maju sebagai bangsa yang demokratis, beradab, dan kuat dalam keberagaman. Pada akhirnya, Pendidikan Pancasila bukan tentang siapa yang paling lantang menyebutnya. Melainkan tentang siapa yang paling sungguh-sungguh menghidupinya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

2 hours ago
1














































