Pengadilan Perberat Vonis Eks Pejabat Kemenkes di Kasus APD Covid-19

3 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana menjadi 4 tahun penjara dari sebelumnya 3 tahun.

Budi Sylvana merupakan terdakwa kasus korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19.

"Mengadili sendiri: menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun," demikian dilansir dari laman Direktori Putusan, Senin (4/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Budi Sylvana juga dihukum membayar denda sejumlah Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.

Perkara nomor: 40/PID.SUS-TPK/2025/PT DKI ini diperiksa dan diadili oleh ketua majelis banding Tahsin dengan hakim anggota Margareta Yulie Bartin Setyaningsih dan Agung Iswanto. Sidang pengucapan putusan dilakukan pada Kamis, 31 Juli 2025.

"Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan," ucap hakim.

"Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan," sambungnya.

Vonis tersebut membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Nomor 15/Pid.Sus-TPK/2025/PN.JKT.PST tanggal 05 Juni 2025 yang menghukum Budi Sylvana dengan pidana 3 tahun penjara dan denda sejumlah Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan.

Majelis hakim pengadilan tingkat pertama tersebut menilai Budi Sylvana terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pertimbangan hakim banding

Majelis hakim PT DKI Jakarta menilai putusan 3 tahun penjara terhadap Budi Sylvana belum memenuhi rasa keadilan. Padahal, yang bersangkutan telah terbukti terlibat dalam tindak pidana dan perbuatannya dikualifikasikan sebagai orang yang turut serta melakukan tindak pidana (mede pleger).

"Menimbang, bahwa majelis hakim pengadilan tingkat banding berpendapat bahwa putusan majelis hakim pengadilan tingkat pertama yang telah menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dipandang masih belum cukup adil dan seimbang dengan kesalahan terdakwa serta belum memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga putusan tersebut tidak bisa dipertahankan dan perlu dibatalkan serta diganti dengan yang lebih adil dengan harapan agar putusan tersebut akan memberikan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan serta memiliki efek jera baik terhadap diri terdakwa khususnya maupun kepada masyarakat pada umumnya," ucap hakim.

Majelis hakim pengadilan tingkat banding sependapat dengan pertimbangan sebelumnya dalam hal-hal yang memberatkan dan meringankan.

Teruntuk hal-hal yang memberatkan, majelis hakim pengadilan tingkat banding menambahkan bahwa sebenarnya Budi Sylvana sejak awal pada audit tujuan tertentu Tahap I dan Tahap II sudah mengetahui ada temuan, tetapi tidak melakukan penghentian kontrak, sehingga menimbulkan kerugian negara yang lebih besar.

"Untuk penjatuhan hukuman pidana pokok penjara majelis hakim pengadilan tingkat banding tidak sependapat dengan majelis hakim pengadilan tingkat pertama, untuk itu majelis hakim pengadilan tingkat banding akan memperbaikinya dengan berpedoman pada ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan akan mempertimbangkan adanya fakta hukum bahwa terdakwa tidak ikut menikmati hasil tindak pidana korupsi tersebut," tutur hakim.

"Untuk penjatuhan hukuman pidana pokok denda, majelis hakim pengadilan tingkat banding tidak sependapat dengan majelis hakim pengadilan tingkat pertama karena dianggap masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan kerugian negara yang timbul untuk itu perlu diperbaiki," tandasnya.

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan sejumlah APD Kementerian Kesehatan pada awal pandemi Covid-19 adalah Budi Sylvana, Ahmad Taufik selaku Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri, Siti Fatimah Az Zahra (Komisaris Utama PT Permana Putra Mandiri, Satrio Wibowo (Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia), dan A. Isdar Yusuf selaku Legal PT Energi Kita Indonesia.

Harusnya hukuman mati

Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta jaksa KPK melawan dengan mengajukan upaya hukum banding. Boyamin mengatakan terdakwa yang melakukan korupsi dalam keadaan bencana seperti Covid-19 sejatinya layak dihukum mati.

"Saya minta jaksa untuk melakukan banding karena sisi lain selain ancaman hukuman tadi yang seumur hidup dari kerugian di atas Rp100 miliar sebenarnya ini layak diberi hukuman mati. Karena apa, ini dilakukan dalam keadaan tertentu dalam keadaan bencana karena itu kan, COVID," kata Boyamin, Sabtu (7/6).

Kalau hanya 3 tahun, menurut saya, sangat mencederai dan sangat tidak masuk akal," imbuhnya.

Menurut Boyamin, hakim yang memvonis tiga terdakwa itu layak diberi sanksi oleh Mahkamah Agung (MA). Sebab, kata Boyamin, MA sejatinya telah mengeluarkan peraturan, di mana kerugian di atas Rp100 miliar akibat kasus korupsi harus dihukum seumur hidup.

"Hakimnya layak diberi sanksi oleh MA karena melanggar Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020, di mana kerugian negara di atas Rp100 miliar dalam perkara korupsi, maka dengan ancaman hukuman seumur hidup," kata Boyamin.

Boyamin memandang putusan ringan itu sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Apalagi, kata Boyamin, korupsi terjadi saat masyarakat tengah berada dalam bencana wabah virus Corona (COVID-19).

(ryn/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |