Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang negara besar seperti Inggris, Kanada, Australia, Prancis, Portugal, dan lainnya yang mengumumkan atau akan mengumumkan pengakuan terhadap Negara Palestina sebelum Sidang Umum PBB ke-80 memberi dorongan diplomatik kuat. Tetapi, tidak segera memberikan kemerdekaan de facto.
Ada dua hambatan kunci: kontrol di lapangan (Israel menguasai wilayah) dan mekanisme keanggotaan PBB yang membutuhkan rekomendasi Dewan Keamanan (di mana AS dapat memveto).
Apa Arti Pengakuan oleh 11 Negara?
Setiap pengakuan menambah angka negara yang mengakui Palestina sebagai negara berdaulat — ini memperkuat klaim Palestina dalam forum internasional, mengurangi ruang bagi narasi delegitimasi, dan menambah tekanan politik terhadap Israel. Pengakuan juga membuka pintu untuk hubungan bilateral penuh: pembukaan kedutaan, perjanjian perdagangan, bantuan, dan kerja sama teknis yang selama ini terhambat. Itu juga memperbesar dukungan pada suara-suara pro-Palestina dalam badan internasional.
Gelombang pengakuan menimbulkan momentum politik menjelang Sidang Umum dan mendorong negara-negara lain (terutama di Eropa dan Global South) untuk mempertimbangkan pengakuan serupa. Laporan media internasional menilai ini sebagai langkah strategis menjelang UNGA ke-80. Intinya: pengakuan menambah legitimasi dan tekanan politik, tetapi bukan perubahan instan atas realitas administratif dan kontrol wilayah.
Mengapa Pengakuan Tidak Langsung Memberi “Kemerdekaan Penuh”?
Keanggotaan PBB penuh mensyaratkan rekomendasi Dewan Keamanan. Menurut Piagam PBB, negara baru harus mendapat rekomendasi Dewan Keamanan (minimal 9 suara, tanpa veto dari P5) sebelum diserahkan ke Sidang Umum untuk pemungutan suara 2/3. Artinya: bila AS (atau anggota tetap lain) memveto, jalan ke keanggotaan penuh tertutup.
Kendali di lapangan tetap ditentukan oleh realitas militer/administratif. Pengakuan tidak langsung mengganti kontrol administratif Israel di lapangan (perbatasan, pemukiman, kontrol pergerakan, sistem hukum lokal). Untuk kemerdekaan praktis diperlukan kombinasi tekanan politik, sanksi, dan perubahan di lapangan.
Resolusi Sidang Umum PBB bersifat rekomendatif bukan mandatori. Sidang Umum dapat mengeluarkan resolusi kuat dan bahkan memobilisasi “Uniting-for-Peace” (untuk merekomendasikan tindakan kolektif saat Dewan Keamanan buntu), tetapi keputusan SU PBB umumnya tidak bersifat mengikat seperti resolusi Dewan Keamanan yang diadopsi di bawah Bab VII Piagam PBB.
Mengapa AS Melindungi Israel dan Apa Artinya?
Dewan Keamanan PBB: 15 anggota, 5 permanen (P5) — AS, Inggris, Perancis, Rusia, China — dan 10 non-permanen. P5 pemegang hak veto. Sejak puluhan tahun AS menggunakan veto untuk memblokir resolusi yang menekan Israel; kasus terkini: beberapa veto AS terhadap upaya Dewan Keamanan mendesak gencatan/akses kemanusiaan di Gaza (veto AS terbaru dilaporkan baru-baru ini). Ini menunjukkan kemampuan AS menutup jalan UNSC.
Sidang Umum (United Nation General Assembly): 193 negara anggota — di sini suara mayoritas Global South, negara-negara Arab, Afrika, dan banyak negara Eropa kecil memberi basis dukungan luas untuk Palestina (mis. 2012: 138 suara mendukung status pengamat nonanggota). Sidang Umum sangat mampu menerbitkan resolusi politik yang merefleksikan konsensus global, meski tidak mengikat.
Keseimbangan praktis hari ini: banyak negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin tetap mendukung Palestina; beberapa negara Eropa besar kini bergerak menyerah pada tekanan publik dan politik domestik (laporan hari ini menunjukkan Inggris, Kanada, Australia, Prancis, Portugal bergabung). Namun AS tetap kekuatan penentu di UNSC karena hak vetonya — sehingga setiap langkah menuju keanggotaan penuh di PBB masih sangat bergantung pada posisi AS (atau solusi negosiasi politik yang mem-bypass veto).
Implikasi Hukum dan Institusional Lain di Luar PBB
Pengakuan bilateral memperkuat akses ke instrumen internasional. Palestina sudah memiliki status non-member observer State sejak 2012 (GA Res. 67/19) dan telah mengakses instrumen hukum internasional—mis. menjadi Pihak pada Statuta Roma (ICC) sejak 2015. Lebih banyak pengakuan memperkuat posisi diplomatik Palestina dalam forum-forum hukum internasional dan perjanjian multilateral. hak keanggotaan di beberapa lembaga.
Arah akuntabilitas hukum internasional. Pengakuan yang lebih luas memberi landasan politik lebih kuat bagi proses hukum dan tekanan melalui mekanisme internasional (mis. pengaduan ke badan-badan HAM, dukungan investigasi independen). Namun proses hukum memakan waktu dan tidak langsung mengubah realitas lapangan. (Amnesty, UNHRC dan laporan internasional telah menyorot dugaan kejahatan berat di Gaza, yang memperkuat argumen bagi tindakan hukum/GA).
Strategi Praktis yang Mungkin Muncul setelah Gelombang Pengakuan
Pertama, kampanye diplomatik terkoordinasi — menggunakan momentum pengakuan untuk mendorong resolusi GA, menggalang dukungan di organisasi regional (Liga Arab, OKI, Uni Afrika). Selanjutnya, pembentukan sanksi selektif/tekanan ekonomi oleh blok negara pendukung untuk menekan kebijakan Israel — efektivitasnya bergantung pada kesediaan negara besar (EU, UK, Kanada, Australia) menerapkannya secara konsisten.
Ketiga, penggunaan mekanisme Uniting for Peace bila UNSC terus buntu — GA dapat menggelar Emergency Special Session dan merekomendasikan tindakan kolektif (meski tidak mengikat). Ini pernah dipakai di masa lalu ketika UNSC terblokir.
Terakhir, percepatan dukungan praktis—bantuan ekonomi langsung ke otoritas Palestina, pengakuan dokumen, akses ke perbankan internasional, pembukaan misi diplomatik penuh.
Kesimpulan
Jangka pendek: pengakuan 11 negara (ditambah gelombang negara lain) memberi momentum diplomatik dan simbolik yang kuat; memperbesar legitimasi Palestina di arena internasional dan membuka jalan bagi langkah-langkah praktis bilateral.
Jangka menengah/panjang: perubahan status formal (keanggotaan penuh PBB) masih terhambat oleh mekanisme UNSC dan veto P5 (terutama AS). Tanpa perubahan posisi AS di Dewan Keamanan atau negosiasi politik besar-besaran — kemerdekaan de facto di lapangan tetap sulit.