REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO — Di tengah maraknya pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, sebuah restoran kecil bernama The Kitchen Garden Bajo memilih jalur berbeda. Alih-alih mengejar kemewahan semu, restoran ini menempatkan keberlanjutan dan kedekatan dengan lingkungan sebagai fondasi utama sejak dibuka pada April 2025.
“Kami memang mengedepankan nilai-nilai konservasi,” ujar Kurator Kitchen Garden Michael Iwa (55 tahun) saat berbincang dengan Republika, Rabu (9/7/2025) malam.
“Kami tidak membuat sumur karena tahu water catchment-nya itu dangkal. Kalau kita tarik air di sini, maka air dari pegunungan itu pasti akan turun dan bakal rusak secara ekosistem,” lanjutnya.
Semua disajikan secara sadar, dari sayur-mayur yang dipetik langsung dari kebun sendiri hingga ikan segar yang bergantung pada hasil tangkapan nelayan hari itu. “Kalau pas lagi dapat bubara (ikan kuwe) atau dapat ikan ekor kuning, itu yang kami sajikan,” ucapnya.
Restoran ini tak melayani pengunjung secara langsung. Setiap tamu wajib reservasi, bukan demi pencitraan eksklusif, melainkan untuk memastikan sajian disesuaikan dengan latar belakang dan preferensi tamu.
“Kami ingin tahu karakteristik dari tamunya terlebih dahulu,” ujar Michael.
“Misalnya, orang Surabaya atau Malang, psikografi mereka itu berbeda. Nah, begitu tahu, makanannya saya twist (modifikasi) sedikit. Apalagi kalau bule,” sambungnya.
Dengan pendekatan itu, tamu bisa menikmati sajian selama dua hingga tiga jam sambil mendengar kisah-kisah di balik masakan. “Kalau langsung datang, biasanya tidak akan ketemu soul-nya, tidak ketemu chemistry-nya,” ungkapnya.
Meski Labuan Bajo mulai banyak dilirik turis asing, Michael menyebut pengunjung domestik tetap mendominasi. “Kami baca dari statistik, sebenarnya lebih banyak pasti lokal, ya,” ujarnya.
Namun, ia mengakui wisatawan asing terutama dari Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura memiliki length of stay (lama tinggal) yang lebih panjang dan daya beli yang tinggi. Khusus dari Singapura dan Malaysia, menurut Mikhael, sebagian besar tamu termasuk dalam segmen high-end.
“Mereka biasanya akan memilih hotel yang mahal, restoran yang bagus. Saya tidak bilang restoran saya mahal, tapi bagus aja, lah,” ujarnya berseloroh.
Dalam hal pembayaran, sistem QRIS menjadi pilihan utama wisatawan domestik. Bahkan pedagang sayur di pasar pun sudah akrab dengan pembayaran digital. "Restoran kami pastinya domestik pakai QRIS. Tapi Labuan Bajo secara umum, mama-mama penjual sayur pun juga pakai QRIS,” ujar Michael. Ia menyebut perluasan penggunaan QRIS di Labuan Bajo cukup masif, seiring edukasi digital yang digencarkan oleh Bank Indonesia dan perbankan nasional.
Namun, penggunaan QRIS belum sepenuhnya menjangkau wisatawan mancanegara. “Singapura, Malaysia masih Visa-Master. QRIS hanya orang Indonesia saja kayaknya,” ungkap Michael.
Meski mengusung konsep fine dining, Kitchen Garden menjaga harga tetap terjangkau, mulai dari Rp55.000 hingga Rp180.000. Michael sadar betul Labuan Bajo bukan hanya milik wisatawan asing, melainkan juga warga lokal dengan daya beli terbatas.
“Kita pertimbangkan juga dengan pendapatan per kapita daerah. Karena Labuan Bajo juga jumlah penduduk cuma 53 ribu,” ujarnya. Selain itu, musim turis pun sangat pendek, hanya ramai hingga September.
Untuk saat ini, Michael tidak menargetkan angka omzet besar. Fokusnya masih pada membangun sistem yang kokoh. “Konsepnya supaya firm aja dulu. Kalau secara finansial, saya pikir enggak, ya. Belum sampai ke sana,” tuturnya.
Michael menilai pembangunan Labuan Bajo terlalu terfokus pada wisata bahari, padahal potensi inland activities seperti wisata kuliner sangat besar. Ia justru berharap para pelaku industri sadar dan terlibat aktif dalam membangun ekosistem yang lebih utuh.
“Justru yang saya harapkan itu malah dari industrinya. Karena kita tidak bisa mengharapkan semuanya datangnya dari pemerintah. Kalau pemerintah sebagai regulator, ya cukup itu aja, sih,” ujar pria yang besar di Bali tersebut.
Ia juga berharap hotel-hotel besar, terutama yang berbintang lima, dapat menyajikan masakan lokal dalam menu sarapan. Menurutnya, upaya ini bisa mendorong wisatawan untuk mencoba dan akhirnya terbiasa dengan cita rasa lokal.
Strategi pemasaran Kitchen Garden juga tidak bergantung pada media sosial. Sebagian besar tamu datang melalui rekomendasi langsung dari hotel-hotel atau sesama wisatawan.
“Mouth to mouth nomor satu. Kemudian yang kedua, Google Business Review. Instagram sangat sedikit,” ungkapnya.
Bahkan, lanjutnya, ada tamu dari Inggris yang datang atas rekomendasi wisatawan Jepang yang ditemuinya di Laos. Restoran ini bukan hanya tentang makanan, tapi tentang koneksi yang tulus antara tamu, alam, dan warisan lokal. Michael menyebutnya sebagai “Universitas Kitchen Garden”.
“Tidak sekadar menyajikan makanan enak saja, tapi reasoning-nya harus benar. Harus bisa dipertanggungjawabkan,” tuturnya.
Dengan segala upaya untuk mengangkat masakan Manggarai secara bermartabat, Michael berharap langkah kecilnya bisa memicu perubahan besar.