Studi: Pria Sering Marah Dianggap Kurang Cerdas Sama Pasangannya

3 months ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian psikologi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Evolutionary Psychology mengungkapkan fakta mengejutkan: pria yang lebih sering marah ternyata dipersepsikan kurang cerdas oleh pasangannya. Dan parahnya, persepsi ini dinilai bisa jadi biang kerok ketidakpuasan dalam hubungan bagi kedua belah pihak. 

Dilansir laman Psypost.org pada Rabu (18/6/2025), penelitian yang dipimpin oleh Jeremiasz Górniak, Marcin Zajenkowski, Kinga Szymaniak, dan Peter K Jonason ini menjawab pertanyaan penting dalam dinamika hubungan asmara. Selama ini, dalam memilih pasangan, orang cenderung mencari dua hal utama yakni kompetensi (kemampuan untuk sukses, sering dikaitkan dengan kecerdasan) dan kasih sayang (kelembutan, keramahan, dan kemarahan rendah). Namun, bagaimana dua hal ini saling berinteraksi dan memengaruhi kepuasan dalam hubungan yang sudah terjalin? Inilah yang coba diungkap oleh studi ini.

Para peneliti merekrut 148 pasangan heteroseksual dengan rentang usia yang cukup bervariasi. Setiap pasangan diwawancarai secara terpisah dalam sesi tatap muka berdurasi sekitar 45 menit. Tujuannya jelas, untuk mencegah mereka saling memengaruhi jawaban. Dalam sesi ini, mereka mengisi berbagai kuesioner dan menjalani tes untuk mengukur beberapa aspek penting.

Pertama, tingkat kemarahan diukur menggunakan kuesioner standar yang menanyakan seberapa sering seseorang merasakan marah, contohnya, "Saya adalah orang yang pemarah". Kedua, kecerdasan objektif diukur dengan Raven's Advanced Progressive Matrices, tes yang menguji kecerdasan fluid (kemampuan memecahkan masalah baru).

Ketiga, kecerdasan subjektif (bagaimana seseorang mempersepsikan kecerdasan diri sendiri dan pasangannya) diukur dengan skala 1 sampai 25. Terakhir, kepuasan hubungan diukur dengan kuesioner yang menilai seberapa terpenuhi kebutuhan masing-masing dalam hubungan. Data tentang durasi hubungan dan riwayat putus-nyambung juga turut dikumpulkan.

Hasilnya? Mengejutkan!

Studi ini menemukan korelasi negatif yang jelas antara tingkat kemarahan pria dan kepuasan hubungan. Artinya, semakin tinggi tingkat kemarahan pria, semakin rendah kepuasan yang mereka rasakan dalam hubungan. Tidak hanya itu, pasangan wanita mereka juga melaporkan tingkat kepuasan hubungan yang lebih rendah.

Lebih jauh lagi, ada hubungan negatif yang kuat antara kemarahan pria dan persepsi kecerdasan mereka di mata pasangan wanita. Wanita dalam penelitian ini cenderung menilai pria yang lebih pemarah sebagai individu yang kurang cerdas, tanpa memedulikan skor kecerdasan objektif pria tersebut. Penting dicatat, peneliti secara statistik mengontrol skor tes kecerdasan pria, sehingga temuan ini tidak bisa hanya dijelaskan karena pria pemarah memang benar-benar kurang cerdas secara objektif.

Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu dalam kemarahan itu sendiri—mungkin kaitannya dengan impulsivitas atau buruknya regulasi emosi—yang membuat seorang pria terlihat kurang cakap secara kognitif, bahkan jika persepsi itu tidak sepenuhnya akurat. Bayangkan saja, saat seseorang marah, logikanya sering kali "terkunci" dan cenderung bertindak berdasarkan emosi. Hal ini bisa jadi memunculkan kesan bahwa dia tidak berpikir jernih atau cerdas.

Kemarahan memutus rantai kecerdasan dan kebahagiaan

Para peneliti menggunakan analisis mediasi untuk menguji apakah hubungan antara kemarahan pria dan kepuasan hubungan (bagi kedua belah pihak) dapat dijelaskan oleh persepsi wanita terhadap kecerdasan pasangannya. Dan, ya, hasilnya mendukung gagasan ini.

Jalurnya begini: Kemarahan pria berkaitan dengan persepsi kecerdasan yang lebih rendah dari pasangan wanitanya. Dan, persepsi kecerdasan yang lebih rendah ini, pada gilirannya, berkaitan dengan kepuasan hubungan yang lebih rendah baik bagi pria itu sendiri maupun pasangan wanitanya.

Sederhananya, pria yang pemarah dianggap kurang cerdas, dan persepsi ini berkontribusi pada menurunnya kebahagiaan kedua belah pihak dalam hubungan. Temuan ini menyoroti betapa pentingnya persepsi dalam dinamika hubungan. Bukan hanya tentang kualitas objektif seperti kecerdasan sesungguhnya, tetapi juga tentang bagaimana pasangan saling memandang, dan pandangan ini bisa memiliki dampak besar pada hasil hubungan.

Penelitian ini mendukung gagasan adanya persepsi trade-off antara kompetensi (kecerdasan) dan kasih sayang (rendahnya kemarahan) dalam hubungan. Ketika seorang pasangan menunjukkan kasih sayang yang rendah (kemarahan tinggi), tampaknya hal itu secara negatif mewarnai persepsi tentang kompetensinya, bahkan jika kompetensi sebenarnya tinggi. Persepsi yang menyimpang ini kemudian menyebar dan memengaruhi kepuasan keseluruhan kedua individu dalam hubungan. Bahkan, ada juga hubungan antara tingkat kemarahan pria dan jumlah putus hubungan yang dilaporkan, yang mengindikasikan potensi dampak pada stabilitas hubungan.

Jadi, bagi para pria, mungkin ada baiknya mulai belajar mengelola emosi. Bukan cuma demi hubungan yang lebih harmonis, tapi juga demi "citra" kecerdasanmu di mata pasangan. Bagi para wanita, memahami bahwa kemarahan bisa "mengaburkan" pandangan kita terhadap kecerdasan pasangan mungkin bisa membantu kita lebih bijak dalam menyikapi situasi. Ini semua demi hubungan yang lebih bahagia dan langgeng.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |