REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kalangan akademisi menilai transisi energi tidak lagi sekadar isu lingkungan. Transisi energi kini telah menjadi salah satu faktor penentu daya saing ekonomi dan kedaulatan teknologi suatu negara.
Wakil Rektor I Institut Teknologi PLN (ITPLN), Prof. Syamsir Abduh, mengatakan transisi energi merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Pasalnya, saat ini dunia tengah memasuki fase baru pengelolaan energi yang lebih kompleks dan strategis. Karena itu, pemerintah dinilai perlu menavigasi proses transisi ini secara cermat dan realistis agar tidak tertinggal dalam perubahan sistem energi global.
“Dunia sedang memasuki fase baru, di mana energi bukan hanya soal pasokan, tetapi juga kedaulatan teknologi dan daya saing ekonomi,” kata dia melalui keterangannya, dikutip pada Kamis (25/12/2025).
Ia menjelaskan, arah transisi energi global bergerak menuju sistem yang semakin terdesentralisasi dan terdigitalisasi. Dalam sistem tersebut, peran masyarakat tidak lagi sebatas sebagai konsumen, tetapi juga produsen energi yang didukung teknologi baru.
“Digitalisasi membuat sistem energi lebih adaptif dan efisien, sekaligus membuka ruang partisipasi masyarakat,” ujar dia.
Syamsir menilai, pengelolaan energi di masa depan sangat ditentukan oleh kemampuan suatu negara dalam menguasai inovasi teknologi. Pengembangan penyimpanan energi, hidrogen hijau, hingga pemanfaatan artificial intelligence (AI) disebut akan menjadi elemen kunci dalam peralihan dari energi fosil.
“Negara yang menguasai teknologi akan memimpin peta energi dunia,” kata Syamsir.
Selain aspek teknologi, ia juga menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam pengelolaan transisi energi. Menurut dia, peralihan sistem energi harus dirancang agar tidak menimbulkan ketimpangan sosial dan meninggalkan kelompok rentan.
“Just transition harus menjadi pilar, agar perubahan sistem energi tetap inklusif dan memberi manfaat sosial yang merata,” ujarnya.
Dalam konteks nasional, Syamsir menilai Indonesia perlu menerapkan pendekatan transisi energi yang pragmatis dan bertahap. Faktor geografis, struktur ekonomi, serta ketergantungan terhadap energi fosil membuat Indonesia tidak bisa melakukan lompatan drastis. “Indonesia tidak bisa melompat, tetapi harus bergerak konsisten,” kata dia.
Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam pengelolaan energi nasional. Pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat dinilai harus bergerak dalam satu orkestrasi kebijakan yang sejalan.
Syamsir menambahkan, transisi energi bukan semata mengganti sumber energi. Lebih dari itu, transisi energi juga mencakup upaya mendesain ulang seluruh sistem agar lebih berkelanjutan.
“Ini adalah soal mendesain ulang sistem energi agar bersih, andal, terjangkau, dan adil. Kecepatan dan arahnya ditentukan oleh kepemimpinan kebijakan, kesiapan teknologi, dan keberanian investasi hari ini,” kata dia.

2 hours ago
2














































