Trump Tuding Obama Lakukan Pengkhianatan, Putin Ikut Terseret

12 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuding pendahulunya, Barack Obama, melakukan "pengkhianatan" dengan memimpin konspirasi untuk mengaitkannya secara keliru dengan Rusia dalam upaya merusak kampanye pilpresnya pada 2016.

"Ini ada buktinya, dia bersalah. Ini adalah tindakan pengkhianatan," kata Trump dari Ruang Oval Gedung Putih, Selasa (22/7/2025), merespons komentar Kepala Intelijen Nasional, Tulsi Gabbard, yang sebelumnya mengancam akan menyeret pejabat era Obama ke Departemen Kehakiman terkait penilaian intelijen mengenai campur tangan Rusia dalam pemilu AS 2016.

"Mereka mencoba mencuri pemilu, mencoba mengaburkannya. Mereka melakukan hal-hal yang bahkan belum pernah dibayangkan di negara lain," tuding Trump lebih lanjut, sebagaimana dikutip Reuters.

Namun, pernyataan keras ini segera dibantah juru bicara Obama. "Tuduhan aneh ini sungguh menggelikan dan upaya yang lemah untuk mengalihkan perhatian," kata Patrick Rodenbush.

Trump, yang kini menjabat kembali sebagai presiden sejak Januari lalu, memang dikenal kerap melontarkan teori konspirasi dan menyasar Obama dalam berbagai pernyataannya. Namun, ini adalah salah satu tuduhan paling ekstrem yang pernah ia lontarkan secara terbuka terhadap mantan presiden dari Partai Demokrat itu.

Gabbard, dalam dokumen yang dideklasifikasi pekan lalu, menyebut ada "konspirasi pengkhianatan" pada 2016 oleh pejabat tinggi era Obama untuk melemahkan Trump. Namun, klaim tersebut segera ditolak oleh kubu Demokrat sebagai tuduhan yang keliru dan bermotif politik.

Penilaian komunitas intelijen AS pada Januari 2017 menyatakan Rusia menggunakan disinformasi media sosial, peretasan, dan "bot farm" untuk merugikan Hillary Clinton dan membantu Trump. Namun, laporan itu juga menyebut dampaknya kemungkinan terbatas dan tidak ditemukan bukti bahwa Moskow berhasil memanipulasi hasil suara secara langsung.

Sementara itu, laporan bipartisan dari Komite Intelijen Senat AS pada 2020 juga menemukan bahwa Rusia berusaha memengaruhi pemilu 2016 melalui operator politik Partai Republik seperti Paul Manafort, situs WikiLeaks, dan lainnya demi menguntungkan Trump.

"Tidak ada dalam dokumen yang dirilis Gabbard pekan lalu yang menyangkal kesimpulan umum bahwa Rusia mencoba memengaruhi pemilu 2016, meski tidak berhasil memanipulasi suara," tegas Rodenbush lagi.

Sejumlah pengamat menilai Trump berusaha mengalihkan perhatian dari tekanan yang kini ia hadapi. Ia mendapat desakan dari basis konservatifnya untuk membuka informasi soal Jeffrey Epstein, pelaku kejahatan seksual yang bunuh diri saat menunggu sidang pada 2019. Trump diketahui sempat bersosialisasi dengan Epstein pada era 1990-an dan awal 2000-an.

Saat ditanya mengenai Epstein, Trump justru kembali menyerang Obama dan Clinton.

"Perburuan penyihir yang seharusnya kalian bahas adalah fakta bahwa Presiden Obama tertangkap basah," katanya.

Trump bahkan menyebut Obama berupaya memimpin kudeta dan menyatakan saatnya "membalas perlakuan yang diterimanya."

"Setelah apa yang mereka lakukan pada saya, apakah itu benar atau salah, sudah waktunya mengejar mereka. Obama tertangkap langsung," ujarnya.

Anggota DPR dari Partai Demokrat, Jim Himes, membalas pernyataan Trump melalui media sosial X. "Ini adalah kebohongan. Dan kalau dia bingung, Presiden sebaiknya bertanya pada @SecRubio."

Senator Partai Republik Marco Rubio-yang kini menjabat Menteri Luar Negeri Trump-sebelumnya ikut memimpin penyelidikan bipartisan Senat yang menyimpulkan bahwa tidak ada bukti politisasi dalam perilaku komunitas intelijen terkait pemilu 2016.

Trump memang telah lama menyasar Obama. Pada 2011, ia menggulirkan teori bahwa Obama tidak lahir di AS, yang membuat Obama harus merilis akta kelahirannya. Kini, Trump bahkan menyebut Obama menggunakan tanda tangan otomatis (autopen) untuk menandatangani dokumen sensitif, dan menuding Joe Biden melakukan hal serupa.

Tuduhan itu dibantah keras oleh Biden sebagai "tidak masuk akal dan palsu."

Namun, tudingan terbaru Gabbard terhadap Obama dibantah oleh tinjauan CIA yang dirilis Direktur Intelijen Nasional saat itu, John Ratcliffe, pada 2 Juli lalu. Tinjauan tersebut memang menemukan kekurangan dalam proses penyusunan penilaian intelijen, namun tetap mendukung kesimpulan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin mengarahkan operasi untuk memengaruhi pemilu AS demi Trump.

Gabbard dituduh mencampuradukkan dua temuan intelijen berbeda: bahwa Rusia tidak mencoba meretas infrastruktur pemilu AS untuk mengubah hasil suara, dan bahwa Rusia memang menggunakan metode siber untuk memengaruhi lingkungan politik AS melalui informasi dan propaganda, termasuk membocorkan data dari server Partai Demokrat.

Penilaian intelijen 2017 yang diperintahkan Obama fokus pada temuan kedua bahwa Rusia bertindak untuk membantu kemenangan Trump.

Tinjauan ulang yang dilakukan kemudian memang mengkritik beberapa aspek penyusunan laporan itu, tapi tetap menegaskan "kualitas dan kredibilitas" laporan CIA rahasia tingkat tinggi yang dijadikan acuan utama.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Putin Respons Zelensky & Trump Cekcok, Ini Kata Rusia

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |